Kamis, 12 Mei 2011

Anti Monopoli dan Persaingan Usaha

ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA

1. Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (UU no.5 Tahun 1999 tentang
anti monopoli)
Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikankepentingan umum.
Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
2. Kegiatan yang dilarang berposisi dominan menurut pasal 33 ayat 2
Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
Menurut pasal 33 ayat 2 “ Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”
Jadi, sektor-sektor ekonomi seperti air, listrik, telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai
oleh negara tidak boleh dikuasai swasta sepenuhnya.
3. Perjanjian yang dilarang penggabungan, peleburan, dan pengambil-alihan
– Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan/Badan Usaha lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasivadari Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan beralih karena hukum kepadaPerseroan/Badan Usaha yang menerima Penggabungan dan selanjutnya Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
– Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan/Badan Usaha baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri dan Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
– Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk memperoleh atau mendapatkan baik seluruh atau sebagian saham dan atau aset Perseroan/Badan Usaha. yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian
terhadap Perseroan/Badan Usaha tersebut
4. Sebutkan beberapa asas dalam UU no.5 Tahun 1999
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi
ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan
kepentingan umum.
5. Apa tujuan UU tersebut digunakan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.

Tujuan pembentukan undang-undang ini adalah untuk:
a. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagal salah
satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
b. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
c. mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh
pelaku usaha.
d. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
6. Kegiatan apa saja yang dimaksud persaingan
Dasar pemikiran UU No.5/1999 adalah bahwa persaingan itu baik, sehingga perlu dilaksanakan secara efektif. Bagi pelaku usaha, terbuka peluang untuk berusaha dalam iklim persaingan usaha yang sehat, yaitu berkompetisi berdasarkan prestasi, bukan dengan strategi untuk mematikan pesaing yang lain. Pelaku usaha dilindungi dari kompetisi yang tidak sehat oleh pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha dominan
Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:
a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha
yang sama pada pasar bersangkutan.
b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan
hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu.
c. memibatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan.
d. melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
7. Sebutkan hambatan-hambatan terhadap perdagangan dan pelaksanaan UU tersebut
Adanya tindakan pelaku usaha seperti :
–Melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual
beli atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau
mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan
–Melakukan kecurangan dalani menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya
yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa
–Bersekongkol dengan pihak lain unuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender
–Bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan
usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan
–Bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitasmaupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
8. Berikan perbedaan monopoli, monopsoni, oligopoli dan oligopsoni

Monopoli adalah suatu bentuk interaksi antara permintaan dan penawaran di mana hanya
ada satu penjual/produsen yang berhadapan dengan banyak pembeli atau konsumen

Ciri-ciri dari pasar monopoli adalah :

1. Hanya ada satu produsen yang menguasai penawaran
2.Tidak ada barang substitusi/pengganti yang mirip (close subtitute)
3. Produsen memiliki kekuatan untuk menentukan harga
4. Tidak ada pengusaha lain yang bisa memasuki pasar tersebut karena ada hambatan berupa
keunggulan perusahaan.

Monopsoni adalah adalah suatu bentuk interaksi antara permintaan dan penawaran di
mana permintaannya atau pembeli hanya satu perusahaan.
Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas
barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi
pembeli tunggal apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai
lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Oligopoli adalah suatu bentuk interaksi permintaan dan penawaran, di mana terdapat
beberapa penjual/produsen yang menguasai seluruh permintaan pasar.
Ciri-ciri dari pasar oligopoli adalah:
1. Terdapat beberapa penjual/produsen yang menguasai pasar.
2. Barang yang diperjual-belikan dapat homogen dan dapat pula berbeda corak
(differentiated product).
3. Terdapat hambatan masuk yang cukup kuat bagi perusahaan di luar pasar untuk
masuk ke dalam pasar.
4.Satu di antaranya para oligopolis merupakan price leader yaitu penjual yang
memiliki/pangsa pasar yang terbesar. Penjual ini memiliki kekuatan yang besar
untuk menetapkan harga dan para penjual lainnya harus mengikuti harga tersebut

Oligopsoni adalah suatu bentuk interaksi yang secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar yang bersangkutan.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
9. Pemboikotan dan penguasaan pasar dalam penetapan harga
UU no.5 Tahun 1999 pasal 10 tentang Pemboikotan
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.”
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak
menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut:
a. merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; atau
b. membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari
pasar bersangkutan.
Pada UU no. 5 pasal 5 ayat 1 “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.” Kecuali jika sudah dibuat suatu perjanjian dalam suatu usaha patungan atau perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.

Hukum antimonopoli merupakan salah satu regulasi yang mengatur tata cara persaingan usaha di Indonesia. Hukum antimonopoli dimaksudkan agar persaingan usaha di Indonesia dapat berjalan dengan baik dan wajar yang dijalankan oleh para pelaku usaha serta menciptakan suatu keseimbangan dan persaingan usaha yang kondusif bagi para pelaku usaha. Dalam perkembangannya, hukum antimonopoli sangat berkaitan erat dengan prinsip prinsip dasar ekonomi. Hal tersebut dikarenakan setiap pelanggaran yang dilakukan oleh para pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahannya, dipastikan membawa dampak ekonomi, baik dampak dalam ruang lingkup ekonomi mikro maupun dampak dalam ruang lingkup ekonomi makro. Oleh karena itu regulasi yang telah dibuat, tidak semata - mata melihat dari segi hukumnya saja, melainkan harus juga dilihat dari segi ekonomi demi keberlangsungan kegiatan usaha di Indonesia.
Dengan berkembangnya dunia usaha di Indonesia, maka hal tersebut memacu berbagai masalah masalah baru yang berkenaan dengan praktek kegiatan usaha di lapangan. Sehingga pemerintah harus dapat membuat suatu regulasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan permasalahan yang akan / sedang timbul.
Hukum antimonopoli di Indonesia diatur dalam Undang – Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam perundang – undangan tersebut diatur hal hal apa saja yang boleh dan tidak diperbolehkan pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya di Indonesia. Hal tersebut tercermin dalam pasal 3 UU No 5 Tahun 1999 yang berbunyi “ pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berazakan demokrasi Ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum “
Cikal bakal dibentuknya Undang – Undang No 5 Tahun 1999 karena begitu banyaknya pelanggaran – pelanggaran bentuk kegiatan usaha pada masa orde baru yang berakhir pada tahun 1998. Monopoli dan gerak konglongmerasi yang cepat terjadi kesalahan dalam mendistribusikan PER ( power of Economic Regulation ) sehingga manfaat hanya bergulir pada lingkaran kelompok tertentu yang dekat dengan kekuasaan dan pusat pengambil keputusan saja.
Berdasarkan hal hal yang telah penulis paparkan diatas, maka penulis membuat sebuah karya tulis yang berjudul “ Kegiatan usaha dalam bentuk persekongkolan yang tidak sehat bagi para pelaku usaha “.

Kamis, 28 April 2011

TUGAS III

Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)

Sejarah Perkembangan Sistem Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia
* Secara historis, peraturan perundang-undangan di bidang HKI di Indonesia telah ada sejak tahun 1840. Pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan undang-undang pertama mengenai perlindungan HKI pada tahun 1844. Selanjutnya, Pemerintah Belanda mengundangkan UU Merek tahun 1885, Undang-undang Paten tahun 1910, dan UU Hak Cipta tahun 1912. Indonesia yang pada waktu itu masih bernama ''Netherlands East-Indies'' telah menjadi angota ''Paris Convention for the Protection of Industrial Property'' sejak tahun 1888, anggota ''Madrid Convention'' dari tahun 1893 sampai dengan 1936, dan anggota ''Berne Convention for the Protection of Literaty and Artistic Works'' sejak tahun 1914. Pada jaman pendudukan Jepang yaitu tahun 1942 sampai dengan 1945, semua peraturan perundang-undangan di bidang HKI tersebut tetap berlaku. Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peralihan UUD 1945, seluruh peraturan perundang-undangan peninggalan Kolonial Belanda tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan UUD 1945. UU Hak Cipta dan UU Merek tetap berlaku, namun tidak demikian halnya dengan UU Paten yang dianggap bertentangan dengan pemerintah Indonesia. Sebagaimana ditetapkan dalam UU Paten peninggalan Belanda, permohonan Paten dapat diajukan di Kantor Paten yang berada di Batavia (sekarang Jakarta), namun pemeriksaan atas permohonan Paten tersebut harus dilakukan di ''Octrooiraad'' yang berada di Belanda
* Pada tahun 1953 Menteri Kehakiman RI mengeluarkan pengumuman yang merupakan perangkat peraturan nasional pertama yang mengatur tentang Paten, yaitu Pengumuman Menteri Kehakiman no. J.S 5/41/4, yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan Paten dalam negeri, dan Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.G 1/2/17 yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan paten luar negeri.
* Pada tanggal 11 Oktober 1961 Pemerintah RI mengundangkan UU No.21 tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan untuk mengganti UU Merek Kolonial Belanda. UU No 21 Tahun 1961 mulai berlaku tanggal 11 November 1961. Penetapan UU Merek ini untuk melindungi masyarakat dari barang-barang tiruan/bajakan.
* 10 Mei 1979 Indonesia meratifikasi Konvensi Paris ''Paris Convention for the Protection of Industrial Property'' (Stockholm Revision 1967) berdasarkan keputusan Presiden No. 24 tahun 1979. Partisipasi Indonesia dalam Konvensi Paris saat itu belum penuh karena Indonesia membuat pengecualian (reservasi) terhadap sejumlah ketentuan, yaitu Pasal 1 sampai dengan 12 dan Pasal 28 ayat 1.
* Pada tanggal 12 April 1982 Pemerintah mengesahkan UU No.6 tahun 1982 tentang Hak Cipta untuk menggantikan UU Hak Cipta peninggalan Belanda. Pengesahan UU Hak Cipta tahun 1982 dimaksudkan untuk mendorong dan melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu, seni, dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa.
* Tahun 1986 dapat disebut sebagai awal era moderen sistem HKI di tanah air. Pada tanggal 23 Juli 1986 Presiden RI membentuk sebuah tim khusus di bidang HKI melalui keputusan No.34/1986 (Tim ini dikenal dengan tim Keppres 34) Tugas utama Tim Keppres adalah mencakup penyusunan kebijakan nasional di bidang HKI, perancangan peraturan perundang-undangan di bidang HKI dan sosialisasi sistem HKI di kalangan intansi pemerintah terkait, aparat penegak hukum dan masyarakat luas.
* 19 September 1987 Pemerintah RI mengesahkan UU No.7 Tahun 1987 sebagai perubahan atas UU No. 12 Tahun 1982 tentang Hak Cipta.
* Tahun 1988 berdasarkan Keputusan Presiden RI No.32 ditetapkan pembentukan Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek (DJHCPM) untuk mengambil alih fungsi dan tugas Direktorat paten dan Hak Cipta yang merupakan salah satu unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan, Departemen Kehakiman.
* Pada tanggal 13 Oktober 1989 Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui RUU tentang Paten yang selanjutnya disahkan menjadi UU No. 6 Tahun 1989 oleh Presiden RI pada tanggal 1 November 1989. UU Paten 1989 mulai berlaku tanggal 1 Agustus 1991.
* 28 Agustus 1992 Pemerintah RI mengesahkan UU No. 19 Tahun 1992 tentang Merek, yang mulai berlaku 1 April 1993. UU ini menggantikan UU Merek tahun 1961.
* Pada tanggal 15 April 1994 Pemerintah RI menandatangani ''Final Act Embodying the Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations'', yang mencakup ''Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights'' (Persetujuan TRIPS).
* Tahun 1997 Pemerintah RI merevisi perangkat peraturan perundang-undangan di bidang HKI, yaitu UU Hak Cipta 1987 jo. UU No. 6 tahun 1982, UU Paten 1989 dan UU Merek 1992.
* Akhir tahun 2000, disahkan tiga UU baru dibidang HKI yaitu : (1) UU No. 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri, dan UU No. 32 tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
* Untuk menyelaraskan dengan Persetujuan TRIPS (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) pemerintah Indonesia mengesahkan UU No 14 Tahun 2001 tentang Paten, UU No 15 tahun 2001 tentang Merek, Kedua UU ini menggantikan UU yang lama di bidang terkait. Pada pertengahan tahun 2002, disahkan UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang menggantikan UU yang lama dan berlaku efektif satu tahun sejak di undangkannya.
* Pada tahun 2000 pula disahkan [[UU No 29 Tahun 2000]] Tentang Perlindungan Varietas Tanaman dan mulai berlaku efektif sejak tahun 2004.

Ruang Lingkup HKI
Secara garis besar HKI dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
# [[Hak Cipta]] (Copyrights)
# Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights), yang mencakup :
* [[Paten]] (Patent)
* [[Desain Industri]] (Industrial Design)
* [[Merek]] (Trademark)
* Penanggulangan praktik persaingan curang (repression of unfair competition)
* Desain tata letak sirkuit terpadu (layout design of integrated circuit)
* Rahasia dagang (Trade secret)
* [[Perlindungan Varietas Tanaman]] (Plant Variety Protection)



Sifat Hukum HKI
Hukum yang mengatur HKI ''bersifat teritorial'', pendaftaran ataupun penegakan HKI harus dilakukan secara terpisah di masing-masing yurisdiksi bersangkutan. HKI yang dilindungi di Indonesia adalah HKI yang sudah didaftarkan di Indonesia.

Konsultan Hak Kekayaan Intelektual

Adalah orang yang memiliki keahlian di bidang Hak Kekayaan Intelektual dan secara khusus memberikan jasa di bidang pengajuan dan pengurusan permohonan di bidang Hak Kekayaan Intelektual yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dan terdaftar sebagai Konsultan Hak Kekayaan Intelektual di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual PP No 2 tahun 2005 Tentang Konsultan Hak Kekayaan Intelektual

Persyaratan Menjadi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual
* Warganegara Indonesia
* Bertempat tinggal tetap di wilayah Republik Indonesia
* Berijazah Sarjana S1
* Menguasai Bahasa Inggris
* Tidak berstatus sebagai pegawai negeri
* Lulus pelatihan Konsultan Hak Kekayaan Intelektual
PP No 2 tahun 2005 Tentang Konsultan Hak Kekayaan Intelektual


Perlindungan Konsumen

UU No. 8 Tahun 1999
Tentang perlindungan konsumen, pada pasal 5, tentang kewajiban konsumen adalah:
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang/atau
jasa, demi keamanan dan keselamatan
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau jasa
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patuh
Contoh yang dilakukan produsen mesin cuci dalam melindungi konsumen dari kerugian akibat pemakaian mesin cuci.
Tentang perlindungan konsumen, pada pasal 7, tentang hak konsumen, yaitu:
a. Atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang/jasa
b. Untuk memilih barang dan jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
c. Atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan keamanan barang dan jasa
d. Untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan jasa yang digunakan
e. Untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen
secara patut
f. Untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen
g. Untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
h. Untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan jasa
yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya
i. Hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya
Tentang perlindungan konsumen, pada pasal 7, tentang kewajiban pelaku usaha, yaitu:
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa serta
memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
d. Menjamin mutu barang dan / atau jasa yang diproduksi dan / atau diperdagangkan berdasar ketentuan
standar mutu barang dan /atau garansi atas barang yang dibuat dan /atau yang diperdagangkan
e. Memberi kompensasi, ganti rugi dan /atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian
dan pemanfaatan barang dan /atau jasa yang diperdagangkan
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan /atau penggantian apabila barang dan /atau yang diterima atau
dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian


Tentang perlindungan konsumen, pada pasal 7, tentang hak pelaku usaha, yaitu:
a. Untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang
dan /atau jasa yang diperdagangkan
b. Untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik
c. Untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen
d. Untuk rehabilitas nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan
oleh barang dan /atau jasa yang diperdagangkan
e. Hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya

Jumat, 01 April 2011

TUGAS II

1. HUKUM PERJANJIAN
Ditinjau dari Hukum Privat
A. Pengertian Perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal 1313 BW). Pengertian
perjanjian ini mengandung unsur :
a. Perbuatan,
Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat
jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena
perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang
memperjanjikan;
b. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih, Untuk adanya suatu
perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan
dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak
tersebut adalah orang atau badan hukum.
c. Mengikatkan dirinya,
Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu
kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum
yang muncul karena kehendaknya sendiri.
B. Syarat sahnya Perjanjian
Agar suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian
harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 BW
yaitu :
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat
barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak
lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang
tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut
ancaman (Pasal 1324 BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai
kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap
perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut,
dapat diajukan pembatalan.
2. cakap untuk membuat perikatan;
Para pihak mampu membuat suatu perjanjian. Kata mampu dalam hal ini adalah
bahwa para pihak telah dewasa, tidak dibawah pengawasan karena prerilaku
yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang
membuat suatu perjanjian.
Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang,
dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang
telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun
berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah
Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan
tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap.
Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin
suaminya.
Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal
demi hukum (Pasal 1446 BW).
Hukum Perjanjian Lista Kuspriatni
Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 2
3. suatu hal tertentu;
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka
perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barangbarang
yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan
berdasarkan
Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat
menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.
4. suatu sebab atau causa yang halal.
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat.
Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan
lain oleh undang-undang.
Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan
keempat
mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau
tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan
perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat
mengenai obyek tidak
terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.

2. Hukum Dagang
Hukum dagang adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan perdagangan dalam usahanya memperoleh keuntungan. Dapat juga dikatakan, hukum dagang adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara manusia-manusia dan badan-badan hukum satu sama lainnya, dalam lapangan perdagangan (C.S.T. Kansil, 1985 : 7). Pengertian lain, hukum dagang adalah hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan (H.M.N. Purwosutjipto, 1987 : 5).

SUMBER-SUMBER HUKUM DAGANG DAN SISTEMATIKA HUKUM DAGANG
Hukum Dagang Indonesia terutama bersumber pada :
1) Hukum tertulis yang dikofifikasikan :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) atau Wetboek van Koophandel Indonesia (W.v.K)
b. Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS) atau Burgerlijk Wetboek Indonesia (BW)
2) Hukum tertulis yang belum dikodifikasikan, yaitu peraturan perundangan khusus yang mengatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan (C.S.T. Kansil, 1985 : 7).
Sifat hukum dagang yang merupakan perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, sebenarnya merupakan bagian dari hukum perdata, khususnya mengenai perikatan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW) yang kita kenal sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt) Buku III tentang Perikatan.Jelaslah bahwa sumber hukum dagang Indonesia yang utama adalah KUHD dan KUHPdt (Buku III). Hukum dagang merupakan lex specialis dan hukum perdata mengenai Perikatan merupakan lex generalis, yang berarti sepanjang hukum dagang (KUHD) tidak mengatur akan berlaku hukum perikatan (KUHPdt Buku III) (Soedjono Dirdjosisworo, 2006 : 1).
KUHD yang mulai berlaku di Indonesia pada 1 Mei 1848 terbagi atas dua Kitab dan 23 bab. Kitab I terdiri dari 10 bab dan Kitab II terdiri dari 13 bab. Isi pokok dari KUHD Indonesia itu adalah :
1) Kitab Pertama berjudul : TENTANG DAGANG UMUMNYA yang memuat :
Bab I : dihapuskan (menurut Stb. 1938 / 276 yang mulai berlaku pada 17 Juli 1938, Bab I yang berjudul : “Tentang pedagang-pedagang dan tentang perbuatan dagang” yang meliputi pasal 2, 3, 4 dan 5 telah dihapuskan).
Bab II : Tentang pemegangan buku.
Bab III : Tentang beberapa jenis perseroan.
Bab IV : Tentang bursa dagang, makelar dan kasir.
Bab V : Tentang komisioner, ekspeditur, pengangkut dan tentang juragan-juragan yang melalui sungai dan perairan darat.
Bab VI : Tentang surat wesel dan surat order.
Bab VII : Tentang cek, promes dan kuitansi kepada pembawa (aan toonder).
Bab VIII : Tentang reklame atau penuntutan kembali dalam hal kepailitan.
Bab IX : Tentang asuransi atau pertanggungan seumumnya.
Bab X : Tentang pertanggungan (asuransi) terhadap bahaya kebakaran, bahaya yang mengancam hasil-hasil pertanian yang belum dipenuhi dan pertanggungan jiwa.
Kitab Kedua yang berjudul : TENTANG HAK-HAK DAN KEWAJIBAN-KEWAJIBAN YANG TERBIT DARI PELAYARAN, yang memuat (Hukum Laut) :
Bab I : Tentang kapal-kapal laut dan muatannya.
Bab II : Tentang pengusaha-pengusaha kapal dan perusahaan-perusahaan perkapalan.
Bab III : Tentang nakhoda, anak kapal dan penumpang.
Bab IV : Tentang perjanjian kerja laut.
Bab V A : Tentang pengangkutan barang.
Bab V B : Tentang pengangkutan orang.
Bab VI : Tentang penubrukan.
Bab VII : Tentang pecahnya kapal, perdamparan dan diketemukannya barang di laut.
Bab VIII : dihapuskan (menurut Stb. 1933 no. 47 yo Stb. 1938 No. 2 yang mulai berlaku 1 April 1938, Bab VIII yang berjudul : Tentang persetujuan utang uang dengan dengan premi oleh nakhoda atau pengusaha pelayaran dengan tanggungan kapal atau muatannya atau dua-duanya, yang meliputi pasal 569-591 telah dicabut).
Bab IX : Tentang pertanggungan terhadap segala bahaya laut dan terhadap bahaya pembudakan
Bab X : Tentang pertanggungan terhadap bahaya dalam pengangkutan di daratan, di sungai dan di perairan darat.
Bab XI : Tentang kerugian laut.
Bab XII : Tentang berakhirnya perikatan-perikatan dalam perdagangan laut.
Bab XIII : Tentang kapal-kapal dan perahu-perahu yang melalui sungai-sungai dan perairan darat.
Masing-masing Kitab dibagi dalam bab-bab, masing masing bab dibagi dalam bagian-bagian, dan masing-masing bagian dibagi dalam pasal-pasal / ayat-ayat.
Sedangkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS), KUHS Indonesia ini terbagi atas 4 kitab, yaitu Kitab I yang berjudul “Perihal Orang (Van Personen)” yang memuat hukum tentang diri seseorang dan hukum kekeluargaan, termasuk hukum perkawinan. Kitab II berjudul “Perihal Benda (Van Zaken)” yang memuat hukum perbendaan serta hukum warisan. Kitab III berjudul “Perihal Perikatan (Van Verbinteris)” yang memuat hukum kejayaan yang mengenal hak-hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak yang tertentu (perjanjian-perjanjian). Kitab IV berjudul “Perihal Pembuktian dan Kadaluarsa (Van Bewijs en Verjaring) yang memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum”.
Bagian-bagian dari KUHS yang mengatur tentang Hukum Dagang adalah sebagian terbesar dari Kitab III dan sebagian kecil dari Kitab II. Hal-hal yang diatur dalam kitab III KUHS adalah mengenai perikatan-perikatan umumnya dan perikatan-perikatan yang dilahirkan dari persetujuan dan Undang-Undang seperti :
a. Persetujuan jual-beli (contract of sale).
b. Persetujuan sewa-menyewa (contract of hire).
c. Persetujuan pinjaman uang (contract of loan).
Selain KUHD dan KUHS, hukum dagang juga diatur dalam berbagai peraturan-peraturan khusus (yang belum dikodifikasikan), misalnya :
1) Peraturan tentang koperasi :
a. Badan Hukum Eropa (Stb. 1949 / 179).
b. Badan Hukum Indonesia (Stb. 1933 / 108).
(Namun kedua peraturan tersebut sekarang sudah tidak berlaku lagi karena telah digantikan oleh Undang-Undang No. 79 tahun 1958 dan UU No. 12 Tahun 1967 tentang Koperasi ).
2) Peraturan Pailisemen (Stb. 1905 / 217 yo. Stb. 1906 / 348).
3) Undang-Undang Oktroi (Stb. 1922 / 54).
4) Peraturan Hak Milik Industri (Stb. 1912 / 545).
5) Peraturan lalu lintas (Stb. 1933 / 66 yo. 249).
6) Peraturan Maskapai Andil Indonesia (Stb. 1939 / 589 yo. 717).
7) Peraturan tentang Perusahaan Negara (Perpu No. 19 tahun 1960 yo. Undang-Undang No. 1 tahun 1961) dan UU N0. 9 tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara (Persero, Perum, Perjan) (C.S.T. Kansil, 1985 : 8-10).


SEJARAH KUHD
Pembagian Hukum Privat Sipil ke dalam Hukum Perdata dan Hukum Dagang sebenarnya bukanlah pembagian yang asasi, tetapi pembagian yang berdasarkan sejarah Hukum Dagang. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan yang tercantum dalam pasal 1 KUHD yang menyatakan bahwa peraturan-peraturan KUHS dapat juga dijalankan dalam penyelesaian soal yang disinggung dalam KUHD kecuali dalam penyelesaiannya, soal-soal tersebut, hanya diatur dalam KUHD itu. Kenyataan lain yang membuktikan bahwa pembagian itu bukan pembagian asasi adalah :
a. Perjanjian jual-beli yang merupakan perjanjian terpenting dalam bidang perdagangan tidak ditetapkan dalam KUHD tapi diatur dalam KUHS.
b. Perjanjian pertanggungan (asuransi) yang sangat penting juga bagi soal keperdataan ditetapkan dalam KUHD.
Asal mula perkembangan hukum dagang dapat kita hubungkan dengan terjadinya kota-kota di Eropa Barat. Pada zaman itu di Itali dan Perancis Selatan telah lahir kota-kota pusat perdagangan. Hukum Romawi (Corpus Iuris Civilis) ternyata tidak dapat menyelesaikan seluruh perkara yang timbul di bidang perdagangan. Oleh karenanya disusun peraturan hukum baru di samping Hukum Romawi yang disebut Hukum Pedagang (Koopmansrecht). Selanjutnya pada abad ke-16 dan 17 sebagian besar kota di Perancis sudah mengadakan pengadilan istimewa khusus menyelesaukan perkara di bidang perdagangan (pengadilan pedagang).
Hukum pedagang ini mulanya belum merupakan unifikasi (berlakunya satu sistem hukum untuk seluruh daerah), karena berlakunya masih bersifat kedaerahan. Tiap-tiap daerah mempunyai hukum dagangnya sendiri. Kemudian disebabkan bertambah eratnya hubungan perdagangan antar daerah, maka pada abad ke-17 di Perancis diadakanlah kodifikasi dalam hukum pedagang. Menteri Keuangan dari Raja Louis XIV (1643-1715) yaitu Colbert membuat suatu peraturan yaitu “Ordonnance du Commerce”pada tahun 1673. Peraturan ini mengatur hukum pedagang itu sebagai hukum untuk golongan tertentu yaitu kaum pedagang.
Ordonnance du Commerce ini pada tahun 1681 disusul dengan suatu peraturan lain yaitu “Ordonnance de la Marine”yang mengatur hukum perdagangan laut (untuk pedagang kota pelabuhan). Selanjutnya pada tahun 1807 di Perancis selain terdapat Code Civil des Francais yang mengatur Hukum Perdata Perancis, telah dibuat juga Kitab UU Hukum Dagang sendiri yaitu Code de Commerce yang didasarkan dari Ordonnance du Commerce dan Ordonnance de la Marine. Dengan demikian pada tahun 1807 di Perancis terdapat Hukum Dagang yang dikodifikasikan dalam Code de Commerce dan dipisahkan dari hukum Perdata yang dikodifikasikan dalam Code Civil.
Kemudian kodifikasi hukum Perancis tersebut tahun 1807 dinyatakan berlaku juga di Nederland sampai tahun 1838. Pada saat itu pemerintah Nederland menginginkan adanya Hukum Dagang sendiri. Dalam usul KUHD Belanda dari tahun 1819 direncanakan sebuah KUHD yang terdiri atas 3 Kitab, tetapi di dalamnya tidak mengakui lagi pengadilan istimewa yang menyelesaikan perkara-perkara yang timbul di bidang perdagangan. Perkara-perkara dagang diselesaikan di muka pengadilan biasa. Usul KUHD Belanda inilah yang kemudian disahkan menjadi KUHD Belanda tahun 1838. Akhirnya berdasarkan asas konkordansi pula, KUHD Nederland 1838 ini kemudian menjadi contoh bagi pembuatan KUHD di Indonesia. Pada tahun 1893 UU Kepailitan dirancang untuk menggantikan Buku III dari KUHD Nederland dan UU Kepailitan mulai berlaku pada tahun 1896. (C.S.T. Kansil, 1985 : 11-14).
KUHD Indonesia diumumkan dengan publikasi tanggal 30 April 1847 (S. 1847-23), yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848. KUHD Indonesia itu hanya turunan belaka dari “Wetboek van Koophandel” dari Belanda yang dibuat atas dasar asas konkordansi (pasal 131 I.S.). Wetboek van Koophandel Belanda itu berlaku mulai tanggal 1 Oktober 1838 dan 1 Januari di Limburg. Selanjutnya Wetboek van Koophandel Belanda itu juga mangambil dari “Code du Commerce” Perancis tahun 1808, tetapi anehnya tidak semua lembaga hukum yang diatur dalam Code du Commerce Perancis itu diambil alih oleh Wetboek van Koophandel Belanda. Ada beberapa hal yang tidak diambil, misalnya mengenai peradilan khusus tentang perselisihan-perselisihan dalam lapangan perniagaan (speciale handelsrechtbanken)(H.M.N.Purwosutjipto, 1987 : 9).
Pada tahun 1906 Kitab III KUHD Indonesia diganti dengan Peraturan Kepailitan yang berdiri sendiri di luar KUHD. Sehingga sejak tahun 1906 indonesia hanya memiliki 2 Kitab KUHD saja, yaitu Kitab I dan Kitab I (C.S.T. Kansil, 1985 : 14). Karena asas konkordansi juga maka pada 1 Mei 1948 di Indonesia diadakan KUHS. Adapun KUHS Indonesia ini berasal dari KUHS Nederland yang dikodifikasikan pada 5 Juli 1830 dan mulai berlaku di Nederland pada 31 Desember 1830. KUHS Belanda ini berasal dari KUHD Perancis (Code Civil) dan Code Civil ini bersumber pula pada kodifikasi Hukum Romawi “Corpus Iuris Civilis” dari Kaisar Justinianus (527-565) (C.S.T. Kansil, 1985 : 10).

BAB IV
HUBUNGAN HUKUM DAGANG DAN HUKUM PERDATA
(PASAL 1 KUHD)
Prof. Subeki berpendapat bahwa terdapatnya KUHD di samping KUHS sekarang ini dianggap tidak pada tempatnya. Hal ini dikarenakan Hukum Dagang relatif sama dengan Hukum Perdata. Selain itu, pengertian “dagang” bukanlah suatu pengertian dalam hukum melainkan suatu pengertian perekonomian. Pembagian Hukum Sipil ke dalam KUHD hanyalah berdasarkan sejarah saja, yaitu karena dalam Hukum Romawi belum terkenal peraturan-peraturan seperti yang sekarang termuat dalam KUHD, sebab perdagangan antarnegara baru berkembang dalam abad pertengahan.
Pada beberapa negara, misalnya di Amerika Serikat dan Swiss, tidak terdapat suatu Kitab UU Hukum Dagang yang terpisah dari KUHS. Dahulu memang peraturan-peraturan yang termuat dalam KUHD dimaksudkan hanya berlaku bagi kalangan pedagang saja, misalnya :
a. Hanyalah pedagang yang diperbolehkan membuat surat wesel.
b. Hanyalah pedagang yang yang dapat dinyatakan pailit.
Akan tetapi sekarang ini KUHD berlaku bagi setiap orang, termasuk yang bukan pedagang.
Dapat dikatakan bahwa sumber yang terpenting dari Hukum Dagang adalah KUHS. Hal ini memang dinyatakan dalam pasal 1 KUHS yang berbunyi “KUHS dapat juga berlaku dalam hal-hal yang diatur dalam KUHD sekedar KUHD itu tidak khusus menyimpang dari KUHS.” Hal ini berarti bahwa untuk hal-hal yang diatur dalam KUHD, sepanjang tidak terdapat peraturan-peraturan khusus yang berlainan, juga berlaku peraturan-peraturan dalam KUHS.
Dengan demikian sudahlah diakui bahwa kedudukan KUHD terhadap KUHS adalah sebagai Hukum khusus terhadap Hukum umum. Menurut Prof. Sudiman Kartohadiprojo, KUHD merupakan suatu Lex Specialis terhadap KUHS yang sebagai Lex Generalis. Maka sebagai Lex Specialis apabila dalam KUHD terdapat ketentuan mengenai soal yang terdapat pula pada KUHS, maka ketentuan dalam KUHD itulah yang berlaku. Beberapa pendapat sarjana hukum lainnya tentang hubungan kedua hukum ini diantaranya :
a. Van Kan beranggapan bahwa Hukum Dagang adalah suatu tambahan Hukum Perdata. Dengan kata lain Hukum Dagang merupakan suatu tambahan yang mengatur hal-hal yang khusus. KUHS menurut Hukum Perdata dalam arti sempit, sedangkan KUHD memuat penambahan yang mengatur hal-hal khusus hukum perdata dalam arti sempit itu.
b. Van Apeldoorn menganggap Hukum Dagang adalah suatu bagian istimewa dari lapangan Hukum Perikatan yang tidak dapat ditetapkan dalam Kitab III KUHS.
c. Sukardono mengatakan bahwa pasal 1 KUHD “memelihara kesatuan antara Hukum Perdata Umum dengan Hukum Dagang….sekedar KUHD itu tidak khusus menyimpang dari KUHS.”
d. Tirtamijaya menyatakan bahwa Hukum Dagang adalah suatu Hukum Sipil yang istimewa.
Dalam hubungan Hukum dagang dan Hukum Perdata ini dapat pula dibandingkan dengan sistem hukum negara di Swiss. Seperti juga Indonesia, negara Swiss juga berlaku dua buah kodifikasi yang juga mengatur bersama hukum perdata, yaitu :
a. Schweizeriches Zivil Gesetzbuch dari tanggal 10 Desember 1907 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1912.
b. Schweizeriches Obligationrecht dari tanggal 30 Maret 1911, yang mulai berlaku juga pada 1 Januari 1912.
Kodifikasi yang kedua ini mengatur seluruh Hukum Perikatan yang di Indonesia diatur dalam KUHS (Buku III) dan sebagian dalam KUHD (C.S.T. Kansil, 1986 : 309-310).


3. Wajib Daftar Perusahaan
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
a. Daftar Perusahaan adalah daftar catatan resmi yang diadakan menurut atau berdasarkan ketentuan Undang-undang ini dan atau peraturan-peraturan pelaksanaannya, dan memuat hal-hal yang wajib didaftarkan oleh setiap perusahaan serta disahkan oleh pejabat yang berwenang dari kantor pendaftaran perusahaan;
b. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan.dalam wilayah Negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba;
c. Pengusaha adalah setiap orang perseorangan atau persekutuan atau badan hukum yang menjalankan sesuatu jenis perusahaan;
d. Usaha adalah setiap tindakan, perbuatan atau kegiatan apapun dalam bidang perekonomian, yang dilakukan oleh setiap pengusaha untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba;
e. Menteri adalah Menteri yang bertanggungjawab dalam bidang perdagangan.

TUJUAN DAN SIFAT
Pasal 2
Daftar Perusahaan bertujuan mencatat bahan-bahan keterangan yang dibuat secara benar dari suatu perusahaan dan merupakan sumber informasi resmi untuk semua pihak yang berkepentingan mengenai identitas, data, serta keterangan lainnya tentang perusahaan yang tercantum dalam Daftar Perusahaan dalam rangka menjamin kepastian berusaha.
Pasal 3
Daftar Perusahaan bersifat terbuka untuk semua pihak.
Pasal 4
(1) Setiap pihak yang berkepentingan, setelah memenuhi biaya administrasi yang ditetapkan oleh Menteri, berhak memperoleh keterangan yang diperlukan dengan cara mendapatkan salinan atau petikan resmi dari keterangan yang tercantum dalam Daftar Perusahaan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang untuk itu dari kantor pendaftaran perusahaan.
(2) Setiap salinan atau petikan yang diberikan berdasarkan ketentuan ayat (1) pasal ini merupakan alat pembuktian sempurna.

KEWAJIBAN PENDAFTARAN
Pasal 5
(1) Setiap perusahaan wajib didaftarkan dalam Daftar Perusahaan.
(2) Pendaftaran wajib dilakukan oleh pemilik atau pengurus perusahaan yang bersangkutan atau dapat diwakilkan kepada orang lain dengan memberikan surat kuasa yang sah.
(3) Apabila perusahaan dimiliki oleh beberapa orang, para pemilik berkewajiban untuk melakukan pendaftaran. Apabila salah seorang daripada mereka telah memenuhi kewajibannya, yang lain dibebaskan daripada kewajiban tersebut.
(4) Apabila pemilik dan atau pengurus dari suatu perusahaan yang berkedudukan di wilayah Negara Republik Indonesia tidak bertempat tinggal di wilayah Negara Republik Indonesia, pengurus atau kuasa yang ditugaskan memegang pimpinan perusahaan berkewajiban untuk mendaftarkan.

Pasal 6
(1) Dikecualikan dari wajib daftar ialah :
a. Setiap Perusahaan Negara yang berbentuk Perusahaan Jawatan (PERJAN) seperti diatur dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 40) jo. Indische Bedrijvenwet (Staatsblad Tahun 1927 Nomor 419) sebagaimana telah diubah dan ditambah;
b. Setiap Perusahaan Kecil Perorangan yang dijalankan oleh pribadi pengusahanya sendiri atau dengan mempekerjakan hanya anggota keluarganya sendiri yang terdekat serta tidak memerlukan izin usaha dan tidak merupakan suatu badan hukum atau suatu persekutuan.
(2) Perusahaan Kecil Perorangan yang dimaksud dalam huruf b ayat (1) pasal ini selanjutnya diatur oleh Menteri dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 7
Perusahaan yang wajib didaftar dalam Daftar Perusahaan adalah setiap perusahaan yang berkedudukan dan menjalankan usahanya di wilayah Negara Republik Indonesia menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,termasuk di dalamnya kantor cabang, kantor pembantu, anak perusahaan serta agen dan perwakilan dari perusahaan itu yang mempunyai wewenang untuk mengadakan perjanjian.
Pasal 8
Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Undang-undang ini berbentuk :
a. Badan Hukum, termasuk di dalamnya Koperasi;
b. Persekutuan;
c. Perorangan;
d. Perusahaan lainnya di luar yang tersebut pada huruf-huruf a, b, dan c pasal ini.

CARA DAN TEMPAT SERTA WAKTU PENDAFTARAN
Pasal 9
(1) Pendaftaran dilakukan dengan cara mengisi formulir pendaftaran yang ditetapkan oleh Menteri pada kantor tempat pendaftaran perusahaan.
(2) Penyerahan formulir pendaftaran dilakukan pada kantor pendaftaran perusahaan, yaitu :
a. di tempat kedudukan kantor perusahaan;
b. di tempat kedudukan setiap kantor cabang, kantor pembantu perusahaan atau kantor anak perusahaan;
c. di tempat kedudukan setiap kantor agen dan perwakilan perusahaan yang mempunyai wewenang untuk mengadakan perjanjian.
(3) Dalam hal suatu perusahaan tidak dapat didaftarkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, pendaftaran dilakukan pada kantor pendaftaran perusahaan di Ibukota Propinsi tempat kedudukannya.

Pasal 10
Pendaftaran wajib dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah perusahaan mulai menjalankan usahanya.
HAL-HAL YANG WAJIB DIDAFTARKAN
Pasal 11
(1) Apabila perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas, selain memenuhi ketentuan perundang-undangan tentang Perseroan Terbatas, hal-hal yang wajib didaftarkan adalah :
a. 1. nama perseroan;
2. merek perusahaan;
b. 1. tanggal pendirian perseroan,
2. jangka waktu berdirinya perseroan;
c. 1. kegiatan pokok dan lain-lain kegiatan usaha perseroan;
2. izin-izin usaha yang dimiliki;
d. 1. alamat perusahaan pada waktu perseroan didirikan dan setiap perubahannya;
2. alamat setiap kantor cabang, kantor pembantu dan agen serta perwakilan perseroan;
e. berkenaan dengan setiap pengurus dan komisaris :
1. nama lengkap dan setiap alias-aliasnya;
2. setiap namanya dahulu apabila berlainan dengan huruf e angka 1;
3. nomor dan tanggal tanda bukti diri;
4. alamat tempat tinggal yang tetap;
5. alamat dan negara tempat tinggal yang tetap apabila tidak bertempat tinggal tetap di wilayah Negara Republik Indonesia;
6. tempat dan tanggal lahir;
7. negara tempat lahir apabila dilahirkan di luar wilayah Negara Republik Indonesia;
8. kewarganegaraan pada saat pendaftaran;
9. setiap kewarganegaraan dahulu apabila berlainan dengan huruf e angka 8;
10. tanda tangan;
11. tanggal mulai menduduki jabatan;
f. lain-lain kegiatan usaha dari setiap pengurus dan komisaris;
g. 1. modal dasar;
2. banyaknya dan nilai nominal masing-masing saham;
3. besarnya modal yang ditempatkan;
4. besarnya modal yang disetor;
h. 1. tanggal dimulainya kegiatan usaha;
2. tanggal dan nomor pengesahan badan hukum;
3. tanggal pengajuan permintaan pendaftaran.
(2) Apabila telah diterbitkan saham atas nama yang telah maupun belum disetor secara penuh, di samping hal-hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, juga wajib didaftarkan hal-hal mengenai setiap pemilik pemegang saham-saham itu yaitu:
1. nama lengkap dan setiap alias-aliasnya;
2. setiap namanya dahulu apabila berlainan dengan ayat (2) angka 1;
3. nomor dan tanggal tanda bukti diri;
4. alamat tempat tinggal yang tetap,


5. alamat dan negara tempat tinggal yang tetap apabila tidak bertempat tinggal di wilayah Negara Republik Indonesia;
6. tempat dan tanggal lahir;
7. negara tempat lahir apabila dilahirkan di luar wilayah Negara Republik Indonesia;
8. kewarganegaraan;
9. setiap kewarganegaraan dahulu apabila berlainan dengan ayat (2) angka 8;
10. jumlah saham yang dimiliki,
11. jumlah uang yang disetorkan atas tiap saham.
(3) Pada waktu mendaftarkan wajib diserahkan salinan resmi akta pendirian.
(4) Hal-hal yang wajib didaftarkan, khusus bagi Perseroan Terbatas yang menjual sahamnya kepada masyarakat dengan perantaraan pasar modal, diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Pasal 12
(1) Apabila perusahaan berbentuk Koperasi, hal-hal yang wajib didaftarkan adalah :
a. 1. nama koperasi,
2. nama perusahaan apabila berlainan dengan huruf a angka 1;
3. merek perusahaan.
b. tanggal pendirian;
c. kegiatan pokok dan lain-lain kegiatan usaha;
d. alamat perusahaan berdasarkan akta pendirian;
e. berkenaan dengan setiap pengurus dan anggota badan pemeriksa
1. nama lengkap dan setiap alias-aliasnya;
2. setiap namanya dahulu apabila berlainan dengan ayat (2) angka 1;
3. nomor dan tanggal tanda bukti diri;
4. alamat tempat tinggal yang tetap;
5. tanda tangan;
6. tanggal mulai menduduki jabatan;
f. lain-lain kegiatan usaha dari setiap pengurus dan anggota badan pemeriksa;
g. 1. tanggal dimulainya kegiatan usaha;
2. tanggal pengajuan permintaan pendaftaran.
(2) Pada waktu pendaftaran juga wajib diserahkan salinan resmi akta pendirian koperasi yang disahkan serta salinan surat pengesahan dari pejabat yang berwenang untuk itu.
Pasal 13
(1) Apabila perusahaan berbentuk Persekutuan Komanditer, hal-hal yang wajib didaftarkan adalah :
a. tanggal pendirian dan jangka waktu berdirinya persekutuan;
b. 1. nama persekutuan dan atau nama perusahaan
2. merek perusahaan;
c. 1. kegiatan pokok dan lain-lain kegiatan usaha persekutuan;
2. izin-izin usaha yang dimiliki;
d. 1. alamat kedudukan persekutuan dan atau alamat perusahaan;
2. alamat setiap kantor cabang, kantor pembantu, dan agen serta perwakilan persekutuan;
e. jumlah sekutu yang diperinci dalam jumlah sekutu aktip dan jumlah sekutu pasip;
f. berkenaan dengan setiap sekutu aktip dan pasip;
1. nama lengkap dan setiap alias-aliasnya;
2. setiap namanya dahulu apabila berlainan dengan huruf f angka 1 ;
3. nomor dan tanggal tanda bukti diri;
4. alamat tempat tinggal yang tetap;
5. alamat dan negara tempat tinggal yang tetap apabila tidak bertempat tinggal tetap di wilayah Negara Republik Indonesia;
6. tempat dan tanggal lahir; 177 1982, No. 7
7. negara tempat lahir apabila dilahirkan di luar wilayah Negara Republik Indonesia,
8. kewarganegaraan pada saat pendaftaran;
9. setiap kewarganegaraan dahulu apabila berlainan dengan huruf f angka 8;
g. Lain-lain kegiatan usaha dari setiap sekutu aktip dan pasip;
h. besar modal dan atau nilai barang yang disetorkan oleh setiap sekutu aktip dan pasip;
i 1. tanggal dimulainya kegiatan persekutuan;
2. tanggal masuknya setiap sekutu aktip dan pasip yang baru bila terjadi setelah didirikan persekutuan;
3. tanggal pengajuan permintaan pendaftaran;
j. tanda tangan dari setiap sekutu. aktip yang berwenang menanda tangani untuk keperluan persekutuan;
(2) Apabila perusahaan berbentuk Persekutuan Komanditer atas saham, selain hal-hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, juga wajib didaftarkan hal-hal mengenai modal yaitu:
a. besarnya modal komanditer;
b. banyaknya saham dan besarnya masing-masing saham;
c. besarnya modal yang ditempatkan;
d. besarnya modal yang disetor.
(3) Pada waktu mendaftarkan wajib diserahkan salinan resmi akta pendirian yang disahkan oleh pejabat yang berwenang untuk itu.
Pasal 14
(1) Apabila perusahaan berbentuk Persekutuan Firma, hal-hal yang wajib didaftarkan adalah :
a. 1. tanggal pendirian persekutuan;
2. jangka waktu berdirinya persekutuan apabila ada;
b. 1. nama persekutuan atau nama perusahaan;
2. merek perusahaan apabila ada;
c. 1. kegiatan pokok dan lain-lain kegiatan usaha persekutuan;
2. izin-izin usaha yang dimiliki;
d. 1. alamat kedudukan persekutuan;
2. alamat setiap kantor cabang, kantor pembantu dan agen serta perwakilan persekutuan;
e. berkenaan dengan setiap sekutu :
1. nama lengkap dan setiap alias-aliasnya;
2. setiap namanya dahulu apabila berlainan dengan huruf e angka 1;
3. nomor dan tanggal tanda bukti diri;
4. alamat tempat tinggal yang tetap;
5. alamat dan negara tempat tinggal yang tetap apabila tidak tinggal tetap di wilayah Negara Republik Indonesia;
6. tempat dan tanggal lahir;
7. negara tempat lahir apabila dilahirkan di luar wilayah Negara Republik Indonesia;
8. kewarganegaraan pada saat pendaftaran;
9. setiap kewarganegaraan dahulu apabila berlainan dengan huruf e angka 8;
f. lain-lain kegiatan usaha dari setiap sekutu;
g. jumlah modal (tetap) persekutuan;
h. 1. tanggal dimulainya kegiatan persekutuan;
2. tanggal masuknya setiap sekutu yang baru yang terjadi setelah didirikan persekutuan;
3. tanggal pengajuan permintaan pendaftaran;
i. tanda tangan dari setiap sekutu (yang berwenang menanda tangani untuk keperluan persekutuan).
(2) Apabila perusahaan berbentuk Persekutuan Firma memiliki akta pendirian, pada waktu mendaftarkan wajib diserahkan salinan-salinan resmi akta pendirian yang disahkan oleh pejabat yang berwenang untuk itu.

Pasal 15
(1) Apabila perusahaan berbentuk perorangan hal-hal yang wajib didaftarkan adalah :
a. 1. nama lengkap pemilik atau pengusaha dan setiap alias-aliasnya;
2. setiap namanya dahulu apabila berlainan dengan huruf a angka 1;
3. nomor dan tanggal tanda bukti diri;
b. 1. alamat tempat tinggal yang tetap;
2. alamat dan negara tempat tinggal yang tetap, apabila tidak bertempat tinggal tetap di wilayah Negara Republik Indonesia;
c. 1. tempat dan tanggal lahir pemilik atau pengusaha
2. negara tempat lahir apabila dilahirkan di luar wilayah Negara Republik Indonesia;
d. 1. kewarganegaraan pemilik atau pengusaha pada saat pendaftaran;
2. setiap kewarganegaraan pemilik atau pengusaha dahulu apabila berlainan dengan huruf d angka 1;
e. nama perusahaan dan merek perusahaan apabila ada;
f. 1. kegiatan pokok dan lain-lain kegiatan usaha;
2. izin-izin usaha yang dimiliki;
g. 1. alamat kedudukan perusahaan;
2. alamat setiap kantor cabang, kantor pembantu, dan agen serta perwakilan perusahaan apabila ada;
h. jumlah modal tetap perusahaan apabila ada;
i. 1. tanggal dimulai kegiatan perusahaan;
2. tanggal pengajuan permintaan pendaftaran.
(2) Apabila perusahaan berbentuk usaha perorangan memiliki akta pendirian, pada waktu mendaftarkan wajib menyerahkan salinan-salinan resmi akta pendirian yang disahkan oleh pejabat yang berwenang untuk itu.
Pasal 16
(1) Apabila perusahaan berbentuk usaha lainnya di luar dari pada sebagaimana dimaksud dalam Pasal-pasal 11, 12, 13, 14 dan 15 Undang-undang ini, hal-hal yang wajib didaftarkan adalah:
a. nama dan merek perusahaan;
b. tanggal pendirian perusahaan;
c. 1. kegiatan pokok dan lain-lain kegiatan usaha perusahaan;
2. izin-izin usaha yang dimiliki;
d. 1. alamat perusahaan berdasarkan akta pendirian;
2. alamat setiap kantor cabang, kantor pembantu, dan agen serta perwakilan perusahaan;
e. berkenaan dengan setiap pengurus dan komisaris atau pengawas :
1. nama lengkap dan setiap alias-aliasnya;
2. setiap namanya dahulu apabila berlainan dengan huruf e angka 1 ;
3. nomor dan tanggal tanda bukti diri;
4. alamat tempat tinggal yang tetap;


5. alamat dan negara tempat tinggal yang tetap, apabila tidak bertempat tinggal tetap di wilayah Negara Republik Indonesia;
6. tempat dan tanggal lahir;
7. negara tempat lahir apabila dilahirkan di luar wilayah Negara Republik Indonesia;
8. kewarganegaraan pada saat pendaftaran;
9. setiap kewarganegaraan dahulu apabila berlainan dengan huruf e angka 8;
10. tanda tangan;
11. tanggal mulai menduduki jabatan;
f. lain-lain kegiatan usaha dari setiap pengurus dan komisaris atau pengawas;
g. 1. modal dasar;
2. besarnya modal yang ditempatkan;
3. besarnya modal yang disetorkan;
h. 1. tanggal dimulainya kegiatan perusahaan;
2. tanggal pengajuan permintaan pendaftaran.
(2) Pada waktu mendaftarkan wajib diserahkan salinan resmi akta pendirian dan lain-lain surat pernyataan serta pengesahan dari pajabat yang berwenang untuk itu.

Pasal 17
Hal-hal lain yang wajib didaftarkan sepanjang belum diatur dalam Pasal-pasal 11, 12, 13, 14, 15, dan 16 Undang-undang ini diatur lebih lanjut oleh Menteri.
PENYELENGGARAAN DAFTAR PERUSAHAAN
Pasal 18
Menteri bertanggungjawab dalam penyelenggaraan Daftar Perusahaan.
Pasal 19
Menteri menetapkan tempat-tempat kedudukan dan susunan kantor-kantor pendaftaran perusahaan serta tatacara penyelenggaraan Daftar Perusahaan.
Pasal 20
Dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima formulir pendaftaran yang telah diisi, pejabat yang berwenang dari kantor pendaftaran perusahaan menetapkan pengesahan atau penolakan.
Pasal 21
(1) Apabila pejabat yang berwenang dari kantor pendaftaran perusahaan mengetahui bahwa pendaftaran oleh pengusaha yang bersangkutan telah dilakukan secara tidak sah atau secara tidak lengkap atau secara tidak benar atau bertentangan dengan ketertiban umum atau dengan kesusilaan, pejabat tersebut dapat menolak pendaftaran dengan menyebutkan alasan-alasannya dan memberikan kesempatan kepada pengusaha yang bersangkutan untuk mengadakan pembetulan atau pendaftaran ulang.
(2) Pihak yang ditolak pendaftarannya dapat mengajukan keberatannya kepada Menteri.

Pasal 22
Kepada Perusahaan yang telah disahkan pendaftarannya dalam Daftar Perusahaan diberikan Tanda Daftar Perusahaan yang berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal dikeluarkannya dan yang wajib diperbaharui sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sebelum tanggal berlakunya berakhir.
Pasal 23
Apabila Tanda Daftar Perusahaan hilang, pengusaha berkewajiban untuk mengajukan permintaan tertulis kepada kantor pendaftaran perusahaan untuk memperoleh penggantinya dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah kehilangan itu.
Pasal 24
Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal-pasal 20, 21, dan 22 Undang-undang ini ditetapkan oleh Menteri.
PERUBAHAN DAN PENGHAPUSAN
Pasal 25
(1) Setiap perubahan atas hal-hal yang didaftarkan sebagaimana diatur dalam Bab V Undang-undang ini, wajib dilaporkan pada kantor tempat pendaftaran perusahaan oleh pemilik atau pengurus perusahaan yang bersangkutan dengan menyebutkan alasan perubahan disertai tanggal perubahan dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah terjadi perubahan itu.
(2) Apabila terjadi pengalihan pemilikan atau pengurusan atas perusahaan atau kantor cabang, kantor pembantu, agen dan perwakilannya, pemilik atau pengurus baru maupun pemilik atau pengurus lama berkewajiban untuk melaporkannya.


(3) Apabila terjadi pembubaran perusahaan atau kantor cabang, kantor pembantu atau perwakilannya, pemilik atau pengurus maupun likwidatur berkewajiban untuk melaporkannya.
(4) Apabila terjadi pencabutan kembali kuasa kepada seorang agen, pemilik atau pengurus perusahaan berkewajiban untuk melaporkannya.
(5) Pada waktu melaporkan wajib diserahkan salinan akta perubahan atau surat pernyataan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang untuk itu.

Pasal 26
(1) Daftar Perusahaan hapus apabila terjadi hal-hal sebagai berikut:
a. perusahaan yang bersangkutan menghentikan segala kegiatan usahanya;
b. perusahaan yang bersangkutan berhenti pada waktu akta pendiriannya kadaluwarsa;
c. perusahaan yang bersangkutan dihentikan segala kegiatan usahanya berdasarkan suatu putusan Pengadilan Negeri yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
(2) Hal-hal yang menyebabkan hapusnya Daftar Perusahaan wajib dilaporkan oleh pemilik atau pengurus perusahaan dengan cara sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Bab IV Undang-undang ini dan dengan menyerahkan salinan dokumen-dokumen yang bersangkutan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang untuk itu.
(3) Kantor tempat pendaftaran perusahaan melakukan pengumuman atas hapusnya Daftar Perusahaan.
(4) Cara-cara pengumuman ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.

PERSELISIHAN DAN PENYELESAIAN
Pasal 27
(1) Setiap pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada Menteri atas hal-hal yang didaftarkan dalam Daftar Perusahaan dengan menyebutkan alasan-alasannya.
(2) Pengajuan keberatan oleh setiap pihak ketiga yang berkepentingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diberitahukan kepada pengusaha yang bersangkutan dan kantor pendaftaran perusahaan.

Pasal 28
(1) Dalam hal perusahaan yang telah terdaftar ternyata menjalankan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan izin usahanya, pejabat kantor pendaftaran perusahaan setelah memberikan peringatannya dapat membatalkan pendaftarannya dan mewajibkan pengusaha tersebut untuk melakukan pendaftaran ulang.
(2) Pengusaha yang tidak puas dengan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dapat mengajukan keberatannya kepada Menteri dengan menyebutkan alasan-alasannya.

Pasal 29
(1) Menteri dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal-pasal 21, 27 dan 28 Undang-undang ini memberikan putusan setelah menugaskan pejabat yang berwenang melakukan pemanggilan dan mendengar para pihak yang bersangkutan.
(2) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pejabat yang berwenang tersebut diberitahukan kepada perusahaan secara tertulis.
(3) Terhadap keputusan Menteri sebagaimana tersebut dalam ayat (2) pasal ini pengusaha dapat mengajukan keberatannya kepada Pengadilan Negeri.
(4) Putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini apabila telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap terhadap pihak yang mengajukan keberatan, oleh Panitera Pengadilan Negeri, putusan tersebut diberitahukan kepada kantor pendaftaran perusahaan secara tertulis.
BIAYA-BIAYA
Pasal 30
Setiap perusahaan yang didaftarkan dikenakan biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 31
Besarnya biaya administrasi untuk memperoleh salinan atau petikan resmi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Undang-undang ini ditetapkan oleh Menteri.
KETENTUAN PIDANA
Pasal 32
(1) Barang siapa yang menurut Undang-undang ini dan atau peraturan pelaksanaannya diwajibkan mendaftarkan perusahaannya dalam Daftar Perusahaan yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya tidak memenuhi kewajibannya diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau pidana denda setinggi-tingginya Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam.ayat (1) pasal ini merupakan kejahatan.


(3) Pasal 33
(1) Barang siapa melakukan atau menyuruh melakukan pendaftaran secara keliru atau tidak lengkap dalam Daftar Perusahaan diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau pidana denda setinggi-tingginya Rp. 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah).
(2) Tindak pidana tersebut dalam ayat (1) pasal ini merupakan pelanggaran.

Pasal 34
(1) Barang siapa tidak memenuhi kewajibannya menurut Undang-undang ini dan atau peraturan-peraturan pelaksanaannya untuk menghadap atau menolak untuk menyerahkan atau mengajukan sesuatu persyaratan dan atau keterangan lain untuk keperluan pendaftaran dalam Daftar Perusahaan diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 2 (dua) bulan atau pidana denda setinggitingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini merupakan pelanggaran.

Pasal 35
(1) Apabila tindak pidana sebagaimana, dimaksud dalam Pasal-pasal 32, 33 dan 34 Undang-undang ini dilakukan oleh suatu badan hukum, penuntutan pidana dikenakan dan pidana dijatuhkan terhadap pengurus atau pemegang kuasa dari badan hukum itu.
(2) Ketentuan ayat (1) pasal ini diperlakukan sama terhadap badan hukum yang bertindak sebagai atau pemegang kuasa dari suatu badan hukum lain.

PENGAWASAN DAN PENYIDIKAN
Pasal 36
(1) Selain dari pegawai penyidik umum, kepada pegawai Instansi Pemerintah yang ditugasi untuk melakukan pengawasan atas Wajib Daftar Perusahaan diberi juga wewenang untuk melakukan penyidikan atas pelanggaran terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
(2) Penyidikan dilakukan menurut tata cara yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB XII
ATURAN PERALIHAN
Pasal 37
(1) Perusahaan-perusahaan yang telah memiliki izin usaha berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum diundangkannya Undang-undang ini, wajib didaftarkan pada kantor-kantor pendaftaran perusahaan menurut ketentuan Undang-undang ini dalam jangka waktu satu tahun setelah Undang-undang ini diundangkan.
(2) Semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan Undang-undang ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 38
Hal-hal yang belum atau belum cukup diatur dalam Undang-undang ini diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 39
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Diundangkan di Jakarta

TUGAS I

1. Pengertian Hukum dan Hukum Ekonomi
Berikut ini adalah koleksi artikel yang saya ambil dari beberapa referensi internet mengenai definisi hukum di Indonesia dan seputar pengertian/arti dari hukum itu sendiri. Selamat dipelajari dan semoga berguna.

Apakah hukum itu?
Menurut Daliyo, dkk, (1989: hal 30), Hukum pada dasarnya adalah (1) peraturan tingkah laku
manusia, (2) yang diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib, (3) yang bersifat memaksa,
harus dipatuhi, (4) dan memberikan sanksi tegas bagi pelanggar peraturan tersebut (sanksi itu
pasti dan dapat dirasakan nyata bagi yang bersangkutan).
Hukum objektif adalah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara sesama anggota
masyarakat. Dari sini berkembang pengertian (1) hubungan hukum, yaitu hubungan antar sesama
anggota masyarakat yang diatur oleh hukum, dan (2) subyek hukum, yaitu masing-maSing
anggota masyarakat yang saling mengadakan hubungan hokum
Dibawah ini adalah beberapa pengertian hukum menurut pendapat para ahli.

Grotius
Perbuatan tentang moral yang menjamin keadilan.

Van Vanenhoven
Suatu gejala dalam pergaulan hidup yang bergolak terus menerus dalam keadaan berbenturan tanpa henti dari gejala-gejala lain.


Prof. Soedkno Mertokusumo
Keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan sanksi.

Mochtar Kusumaatmadja
Keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur pergaulan hidup manusia dalam masyarakat, juga meliputi lembaga (institusi) dan proses yang mewujudkan kaidah tersebut dalam masyarakat.

Aristoteles
Sesuatu yang berbeda dari sekedar mengatur dan mengekspresikan bentuk dari konstitusi dan hukum berfungsi untuk mengatur tingkah laku para hakim dan putusannya di pengadilan untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelanggar.

Hugo de Grotius
Peraturan tentang tindakan moral yang menjamin keadilan pada peraturan hukum tentang kemerdekaan (law is rule of moral action obligation to that which is right).

Van Kan
Keseluruhan aturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat.

Leon Duguit
Semua aturan tingkah laku para angota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya
pada saat tertentu diindahkan oleh anggota masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan jika yang dlanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu.

Immanuel Kant
Keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat
menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang yang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan.

E Utrecht
Himpunan petunjuk-petunjuk hidup tata tertib suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan.

Eugen Ehrlich
Sesuatu yang berkaitan dengan fungsi kemasyarakatan dan memandang sumber hukum hanya dari legal story and jurisprudence dan living law.

Roscoe Pound
Sebagai tata hukum mempunyai pokok bahasan hubungan antara manusia dengan individu
lainnya, dan hukum merupakan tingkah laku para individu yang mempengaruhi individu
lainnya. Adapun hukum sebagai kumpulan dasar-dasar kewenangan dari putusan-putusan pengadilan dan tindakan administratif Law as a tool of social engineering.

Hans Kelsen
Suatu perintah terhadap tingkah laku manusia. Hukum adalah kaidah primer yang menetapkan sanksi-sanksi.

John Austin
Seperangkat perintah, baik langsung maupun tidak langsung dari pihak yang berkuasa kepada warga rakyatnya yang merupakan masyarakat politik yang independen dimana pihak yang berkuasa memiliki otoritas yang tertinggi.

Karl Von Savigny
Aturan yang terbentuk melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian kekuasaan secara diam-diam. Hukum berakar pada sejarah manusia, dimana akarnya dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan, dan kebiasaan warga masyarakat.

Karl Max
Suatu pencerminan dari hubungan hukum ekonomis dalam masyarakat pada suatu tahap perkembangan tertentu.

Llywellin
Apa yang diputuskan oleh seorang hakim tentang suatu persengketaan.


Holmes
Apa yang dikerjakan dan diputuskan oleh pengadilan.

Paul Scholten
Suatu petunjuk tentang apa yang layak dilakukan dan apa yang tidak layak dilakukan, yang bersifat perintah.

Thomas Hobbes
Sebuah kata seseorang yang dengan haknya telah memerintah pada yang lain.

M J Van ApelDorn
Sebagai gejala dalam masyarakat, maka keseluruhan kebiasaan-kebiasaan hukum yang
berlaku dalam masyarakat adalah objek dari ilmu hukum.

Soerjono Soekamto
Mempunyai berbagai arti:
1. Hukum dalam arti ilmu (pengetahuan)
hukum
2. Hukum dalam arti disiplin atau sistem
ajaran tentang kenyataan
3. Hukum dalam arti kadah atau norma
4. Hukum dalam ari tata hukum/hukum positf
tertulis
5. Hukum dalam arti keputusan pejabat
6. Hukum dalam arti petugas
7. Hukum dalam arti proses pemerintah
8. Hukum dalam arti perilaku yang teratur
atau ajeg
9. Hukum dalam arti jalinan nilai-nilai


Thomas Aquinas
Hukum berasal dari Tuhan, maka dari itu hukum tidak boleh dilanggar.

Hukum ekonomi adalah suatu hubungan sebab akibat atau pertalian peristiwa ekonomi yang saling berhubungan satu dengan yang lain dalam kehidupan ekonomi sehari-hari dalam masyarakat.
Contoh hukum ekonomi :
1. Jika harga sembako atau sembilan bahan pokok naik maka harga-harga barang lain biasanya akan ikut merambat naik.
2. Apabila pada suatu lokasi berdiri sebuah pusat pertokoan hipermarket yang besar dengan harga yang sangat murah maka dapat dipastikan peritel atau toko-toko kecil yang berada di sekitarnya akan kehilangan omset atau mati gulung tikar.
3. Jika nilai kurs dollar amerika naik tajam maka banyak perusahaan yang modalnya berasal dari pinjaman luar negeri akan bangkrut.
4. Turunnya harga elpiji / lpg akan menaikkan jumlah penjualan kompor gas baik buatan dalam negeri maupun luar negeri.
5. Semakin tinggi bunga bank untuk tabungan maka jumlah uang yang beredar akan menurun dan terjadi penurunan jumlah permintaan barang dan jasa secara umum.
Masih banyak contoh lainnya yang dapat anda temukan sendiri.




2. subjek hukum, objek hukum
Subjek hukum ialah suatu pihak yang berdasarkan hukum telah mempunyai hak/kewajiban/kekuasaan tertentu atas sesuatu tertentu.
Pada dasarnya subjek hukum dapat dibedakan atas:
a. Orang
b. Badan hukum
Sejak lahirnya setiap orang pasti menjadi subjek hukum, seseorang itu menjadi subjek hukum sampai pada saat meninggalnya. Baru setelah kematianyalah seseorang dianggap berhenti menjadi subjek hukum.
Badan hukum ialah suatu badan usaha yang berdasarkan hukum yang berlaku serta berdasarkan pada kenyataan persyaratan yang telah dipenuhinya telah diakui sebagai badan hukum, yakni badan usaha yang telah dianggap atau digolongkan berkedudukan sebagai subjek hukum sehingga mempunyai kedudukan yang sama dengan orang, meskipun dalam menggunakan hak dan melaksanakan kewajibannya harus dilakukan atau diwakilkan melalui para pengurusnya.
Contoh-contoh badan hukum: PT (Perseroan Terbatas), Yayasan, PN (Perusahaan Negara), Perjan (Perusahaan Jawatan), dan sebagainya.
Objek hukum ialah segala sesuatu yang menjadi sasaran pengaturan hukum dimana segala hak dan kewajiban serta kekuasan subjek hukum berkaitan di dalamnya.
Misalkan benda-benda ekonomi, yaitu benda-benda yang untuk dapat diperoleh manusia memerlukan "pengorbanan" dahulu sebelumnya.
Hal pengorbanan dan prosudur perolehan benda-benda tersebut inilah yang menjadi sasaran pengaturan hukum dan merupakan perwujudan dari hak dan kewajiban subjek hukum yang bersangkutan sehingga benda-benda ekonomi tersebut menjadi objek hukum. Sebaliknya benda-benda non ekonomi tidak termasuk objek hukum karena untuk memperoleh benda-benda non ekonomi tidak diperlukan pengorbanan mengingat benda-benda tersebut dapat diperoleh secara bebas.
Akibatnya, dalam hal ini tidak ada yang perlu diatur oleh hukum. Karena itulah akan benda-benda non ekonomi tidak termasuk objek hukum. Misalkan sinar matahari, air hujan, hembusan angin, aliran air di daerah pegunungan yang terus mengalir melalui sungai-sungai atau saluran-saluran air.
Untuk memperoleh itu semua kita tidak perlu membayar atau mengeluarkan pengorbanan apapun juga, mengingat jumlahnya yang tak terbatas dan selalu ada. Lain halnya dengan benda-benda ekonomi yang jumlahnya terbatas dan tidak selalu ada, sehingga untuk memperolehnya diperlukan suatu pengorbanan tertentu, umpamanya melalui, pembayaran imbalan, dan sebagainya.
Akibat hukum ialah segala akibat.konsekuensi yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum terhadap objek hukum ataupun akibat-akibat lain yang disebabkan oleh kejadian-kejadian tertentu yang oleh hukum yang bersangkutan sendiri telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.
Akibat hukum inilah yang selanjutnya merupakan sumber lahirnya hak dan kewajiban lebih lanjut bagi subjek-subjek hukum yang bersangkutan.

3. Hukum Perdata

Menurut Daliyo, dkk (1989: hal 71), Hukum Perdata adalah aturan-aturan hukum yang mengatur
tingkah laku setiap orang terhadap orang lain berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul
dalam pergaulan masyarakat maupun pergaulan keluarga.
Hukum Perdata dibagi menjadi, (1) Hukum perorangan ± personenrecht, (2) Hukum keluarga ±
familierecht, (3) Hukum harta kekayaan ± vermogensrecht, (4) Hukum waris ± erfrecht.
Menurut KUH Perdata (BW), hukum perdata dibagi menjadi 4, (1) Hukum tentang orang ± buku
I, (2) Hukum tentang benda ± buku II, (3) Hukum tentang perikatan ± buku III, (4) Hukum
tentangg pembuktian dan kadaluwarsa ± buku IV.


4. Hukum Perikatan
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut“ver bintenis ”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai
dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti; hal yang mengikat orang
yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa
perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi,
meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan,
letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang
mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang
atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang
terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan
antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain
berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat
hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan
perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum
harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law),
dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal
law).
Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan sistem
terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian,
perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak,
inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus
halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu.
Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang
sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan
perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah
disepakati dalam perjanjian. Contohnya; perjanjian untuk tidak mendirikan bangunan yang
sangat tinggi sehingga menutupi sinar matahari atau sebuah perjanjian agar memotong rambut
tidak sampai botak.
Dan syarat sahnya perikatan yaitu;
1. Obyeknya harus tertentu.
Syarat ini diperlukan hanya terhap perikatan yang timbul dari perjanjian.
2. Obyeknya harus diperbolehkan.
Artinya tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum.
3. Obyeknya dapat dinilai dengan uang.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pengertian perikatan
4. Obyeknya harus mungkin.
Yaitu yang mungkin sanggup dilaksanakan dan bukan sesuatu yang mustahil.
Sumber Hukum Perikatan

Pada dasarnya, ada sedikit kemiripan antara hukum perdata di Indonesia dengan di Mesir,
dikarenakan negara Mesir sendiri mengadopsi hukum dari Perancis, sedangkan Indonesia
mengadopsi hukum dari Belanda, dan Hukum Perdata Negara Belanda berasal dari Hukum
Perdata Perancis (yang terkenal dengan nama Code Napoleon). Jadi, hukum perdata yang di
Indonesia dengan di Mesir pada hakikatnya sama. Akan tetapi hanya bab dan pembagiannya saja
yang membedekannya dikarenakan berasal dari satu nenek moyang yang sama.
Dalam tulisan ini, penulis ingin menitikberatkan sumber-sumber perikatan dari negara Mesir,
dengan tidak lupa juga membahas sumber-sumber perikatan dari Negara Indonesia, guna
menambah wawasan intelektual kita semua.
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang,
dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-
undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi
menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.

Rabu, 05 Januari 2011

Pilihan Meminjam dan Menabung Antara Bank, Koperasi dan Credit Union

Di Indonesia, istilah Bank dan Koperasi sangat populer di masyarakat. Hal itu berbeda dengan istilah Credit Union (CU) yang tingkat kepopulerannya hanya terjadi di beberapa daerah.

Credit Union adalah wadah berkumpulnya orang yang saling percaya dan berwatak sosial dengan tujuan untuk kesejahteraan bersama. Credit Union juga bermakna kumpulan orang yang saling percaya dalam suatu ikatan pemersatu dan sepakat untuk menabungkan uang. Modal yang dikumpulkan bersama dalam CU akan dipinjamkan kepada anggota dengan tujuan produktif dan kesejahteraan.

Sudarwanto, Manager CU Cindelaras Tumangkar Yogyakarta mengatakan, Credit Union yang telah lama berkembang di Kalimantan Barat sejak tahun 1960-an merupakan lembaga keuangan yang cocok dengan kondisi rakyat kecil. Sistem keuangan yang dikembangkan CU dinikmati hingga masyarakat yang paling bawah.

Sebab, kata Sudarwanto, perputaran perekonomian dalam Credit Union semua pengurus dan anggota diperlakukan sama dan setara. “Dalam CU itu tidak ada yang lebih diutamakan, semua sama dengan asas kepercayaan. Keuangannya dari anggota, oleh anggota dan untuk anggota jadi yang untuk tetap anggota tidak peduli siapapun itu,” katanya dalam diskusi pengelolaan lembaga keuangan berbasis kerakyatan di Jombang beberapa waktu lalu.

Sudarwanto menjelaskan, sebenarnya tidak terdapat perbedaan mendasar antara Bank, Koperasi dan Credit Union. Namun, secara prinsip aplikasi pengelolaannya terdapat perbedaan. Dalam CU tidak ada dominasi modal pada orang-orang tertentu. CU tidak hanya terfokus pada urusan menabung dan meminjam. Dalam CU, setiap anggota langsung terintegrasi dengan dalam transaksi tabungan, pinjaman dan asuransi.

Pengurus CU Semangat Warga Jombang, Arifah Anas mengatakan, hegemoni ekonomi global telah memporak-porandakan perekonomian rakyat yang dulu dicetuskan oleh Moh Hatta, proklamator kemerdekaan RI. Karena itu, kata Arifah, untuk menciptakan sistem ekonomi yang berbasis kerakyatan, Credit Union perlu dikembangkan.

Dalam CU, lanjut Arifah, masyarakat kecil bisa melakukan transaksi keuangan dalam bentuk tabungan, pinjaman maupun asuransi sesuai dengan kemampuan mereka. “Kesulitan si miskin hanya bisa diatasi oleh si miskin itu sendiri. Karena itu, CU perlu dikembangkan. Sebab, sistem CU memang betul-betul untuk memberdayakan anggotanya.” (Ms/Er)

10 Tokoh Koperasi Indonesia

10 Tokoh Koperasi Indonesia

ada beberapa tokoh yang layak dikategorikan sebagai tokoh-tokoh koperasi Indonesia sejak lahirnya bapak koperasi "Bung Hatta". Mereka diantaranya :
1. Agus Sudono : Agus sudono yang dibesarkan di lingkungan Kopkar (koperasi karyawan) sehingga ia tahu suka dukanya di dalam lingkungan tersebut sehingga ia terdorong untuk mendirikan Inkopkar (Induk Koperasi Karyawan) pada tahun 1986.
2. Dr. Ir.H Beddu Amang : Sosok abdi koperasi yang selalu haus ilmu. Ia bahkan mengejar dan menuntaskan gelar doktornya dikala ia dipanggil untuk mengabdi kepada Koperasi.
3. Dr. H Daman Danuwidjaja : Keberhasilanya membangun koperasi susu dari tingkat kabupaten hingga menjadi ketua umum GKSI menjadikan hal kenapa ia patut dimasukkan dalam 10 tokoh koperasi Indonesia.
4. Eddiwan : Dikenal salah satunya sebagai bapak koperasi Perikanan Indonesia. Juga mencuat karena perannya sebagai ketua umum Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) 1980-1983.
5. J K Lumunon : Ketua umum kerjasama pengembangan Koperasi Dekopin.
6. Ir Muhammad Iqbal : Mantan Ketua Umum Mahasiswa ITB Bandung yang menjadi ketua umum Koperasi Indonesia (Kopindo).
7. Mubha Kahar Muang, SE : Wanita kelahiran makassar yang menjadikan aktivitas organisasi sebagai bagian hidupnya. Dedikasinya kepada Kosti Jaya (Koperasi Supir Taksi Jakarta Raya) menjadikan ia masuk dalam kategori ini.
8. Muchtar Mandala : Tercatat pernah menjadi direktur utama Bank Bukopin sejak 17 juli 1989.
9. Prof Dr Sri Edi Swasono : Menantu bapak koperasi Indonesia yang malang melintang di dunia perkoperasiaan Indonesia.
10. Sutrisno Hadi : Jebolan FE UI yang malang melintang di PERURI.

UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 1992 TENTANG PERKOPERASIAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 1992 TENTANG PERKOPERASIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN 1992
TENTANG
PERKOPERASIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. Bahwa Koperasi ,baik sebagai gerakan ekonomi rakyat maupun sebagai
badan usaha berperan serta untuk mewujudkan masyarakat yang maju,adil dan
makmur berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dalam tata
perekonomian nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas
asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi ;
b. bahwa koperasi perlu lebih membangun dirinya dan dibangun menjadi kuat
dan mandiri berdasarkan prinsip Koperasi sehingga mampu berperan sebagai
sokoguru perekonomian nasional ;
c. bahwa pembangunan koperasi merupakan tugas dan tanggung jawab
Pemerintah dan seluruh rakyat ;
d. bahwa untuk mewujudkan hal-hal tersebut dan menyelaraskan dengan
perkembangan keadaan ,perlu mengatur kembali ketentuan tentang
perkoperasian dalam suatu Undang –undang sebagai pengganti Undangundang
Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian ;
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1),dan pasal 33 Undang-undang Dasar 1945;
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERKOPERSIAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang –undang ini yang dimaksud dengan :
1. Koperasi adalah badan usahayang beranggotakan orang-seorang atau badan hokum Koperasi
dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan
ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.
2. Perkoperasian adalah segala sesuatu yang menyangkut kehidupan Koperasi.
3. Koperasi Primer adalah Koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan orang-seorang.
4. Koperasi Sekunder adalah Koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan Koperasi.
5. Gerakan koperasi adalah keseluruhan organisasi Koperasi dan kegiatan perkoperasian yang
bersifat terpadu menuju tercapainya cita-cita bersama Koperasi.
BAB II
LANDASAN , ASAS ,DAN TUJUAN
Bagian Pertama
Landasan dan Asas
Pasal 2
Koperasi berlandaskan Pancasila dan Undang-undang dasar 1945 serta berdasar atas asas
kekeluargaan
Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 3
Koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada
umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian Nasional dalam rangka mewujudkan
masyarakat yang maju ,adil ,dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945 .
BAB III
FUNGSI , PERAN, DAN PRINSIP KOPERASI
Bagian Pertama
Fungsi dan Peran
Pasal 4
Fungsi dan peran Koperasi adalah :
a. membangun dan mengembangkan potesi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya
dan pada masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan
sosialnya;
b. berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan
masyarakat ;
c. memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perkonomian
nsional dengan koperasi sebagai sokogurunya ;
d. berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perkonomian nasional yang merupakan
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.
Bagian Kedua
Prinsip Koperasi
Pasal 5
(1) Koperasi melaksanakan prinsip Koperasi sebagai berikut;
a. keanggotaan bersifat suka rela dan terbuka ;
b. pengelolaan dilaksanakan secara demokratis ;
c. pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha
masing-masing anggota ;
d. pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal;
e. kemandirian.
(2) Dalam mengembangkan Koperasi ,maka Koperasi melaksanakan pula prinsip Koperasi
sebagai berikut:
a. pendidikan perkoperasian ;
b. kerja sama antar Koperasi.
BAB IV
PEMBENTUKAN
Bagian pertama
Syarat dan Pembentukan
Pasal 6
(1) Koperasi Primer dibentuk oleh sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang.
(2) Koperasi Skunder dibentuk sekurang –kurangnya 3 (tiga) Koperasi.
Pasal 7
(1) Pembentukan Koperasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dilakukan dengan kata
pendirian yang memuat Anggaran Dasar.
(2) Koperasi mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia.
Pasal 8
Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) memuat Sekurang-kurangnya :
a. daftar nama pendiri;
b. nama dan tempat kedudukan ;
c. maksud dan tujuan serta bidang usaha;
d. ketentuan mengenai keanggotaan ;
e. ketentuan mengenai Rapat Anggota ;
f. ketentuan mengenai pengelolaan ;
g. ketentuan mengenai permodalan ;
h. ketentuan mengenai jangka waktu berdirinya ;
i. ketentuan mengenai pembagian sisa hasil usaha ;
j. ketentuan mengenai sanksi.
Bagian Kedua
Status Badan Hukum
Pasal 9
Koperasi memperoleh status badan hokum setelah akta pendiriannya disahkan oleh pemerintah .
Pasal 10
(1) Untuk mendapatkan pengesahan aebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 9, para pendiri
mengajukan permintaan secara tertulis disertai akta pendirian Koperasi.
(2) Pengesahan akta pendirian diberikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah
diterimanya permintaan pengesahan .
(3) Pengesahan akta pendirian diumumkan dalam berita Negara Republik Indonesia.
Pasal 11
(1) Dalam hal permintaan pengesahan akta pendirian ditolak ,alasan penolakan diberitahukan
kepada para pendiri secara tertulis dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan setelah
diterimanya permintaan.
(2) Terhadap penolakan pengesahan akta pendirian para pendri dapat mengajukan permintaan
ulang dalam waktu palng lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya penolakan.
(3) Kuputusan terhadap pengajuan permintaan ulang diberikan dalam jangka waktu paling lama
1(satu) bulan sejak diterimanya pengajuan permintaan ulang .
Pasal 12
(1) Perubahan Anggaran Dasar dilakukan oleh Rapat Anggota .
(2) Terhadap Perubahan Anggaran Dasar yang menyangkut penggabungan, pembagian,dan
perubahan bidang usaha Koperasi dimintakan pengesahan kepada pemerintah.
Pasal 13
Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pengesahan atau penolakan pengesahan akta
pendirian ,dan perubahan Anggaran Dasar Sebagaimana dimaksud dalam pasal 9, pasal 10, pasal
11, dan pasal 12 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah .
Pasal 14
(1) Untuk keperluan pengembangan dan//atau efisiensi usaha ,satu Koperasi atau lebih dapat :
a. menggabungkan diri menjadi satu dengan Koperasi lain ,atau
b. bersama Koperasi lain meleburkan diri dengan membentuk Koperasi baru .
(2) Penggabungan atau peleburan dilakukan dengan persetujuanRapat Anggota masing-masing
Koperasi .
Bagian Ketiga
Bentuk dan Jenis
Pasal 15
Koperasi dapat berbentuk koperasi Primer atau Koperasi Sekunder.
Pasal 16
Jenis Koperasi didasarkan pada kesamaan kegiatan dan kepentingan ekonomi anggotanya.
BAB V
KEANGGOTAAN
Pasal 17
(1) Anggota Koperasi adalah pemilik sekaligus pengguna jasa Koperasi .
(2) Keanggotaan Koperasi dicatat dalam buku daftar anggota .
Pasal 18
(1) Yang dapat menjadi anggota Koperasi ialah setiap warga negara Indonesia yang mampu
melakukan tindakan hukum atau Koperasi yang memenuhi persyaratan sebagaimana
ditetapkan dalam Anggaran Dasar .
(2) Koperasi dapat memiliki anggota luar biasa yang persyaratan ,hak, dan kewajiban
keanggotaannya ditetapkan dalam Anggaran Dasar .
Pasal 19
(1) Keanggotaan Koperasi didasarkan pada kesamaaan kepentingan ekonomi dalam lingkup
usaha Koperasi.
(2) Keanggotaan Koperasi dapat diperoleh atau diakhiri setelah syarat sebagaimana diatur dalam
Anggaran Dasar dipenuhi .
(3) Keanggotaan Koperasi tidak dapat dipindah tangankan .
(4) Setiap Anggota mempunyai kewajiban dan hak yang sama terhadap Koperasi sebagaimana
diatur dalam Anggaran Dasar .
Pasal 20
(1) Setiap Anggota mempunyai kewajiban :
a. mematuhi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta keputusan yang telah
disepakati dalam Rapat Anggota ;
b. berpartisipasi dalam kegiatan usahs yang diselenggarakan oleh Koperasi;
c. mengembangkan dan memelihara kebersamaan berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Setiap Anggota mempunyai hak :
a. menghadiri ,menyatakan pendapat ,dan memberikan suara dalam Rapat Anggota;
b. memilihdan/atau dipilih menjadi aggota Pengurus atau Pengawas ;
c. meminta diadakan Rapat Anggota menurut ketentuan dalam Anggaran Dasar;
d. mengemukakan pendapat atau saran kepada pengurus diluar Rapat Anggota baik diminta
maupun tidak diminta .
e. memanfaatkan Koperasi dan mendapat pelayanan yang antara sesama aggota;
f. mendapatkan keterangan mengenai perkembangan Koperasi menurut ketentuan dalam
Anggaran Dasar .
BAB VI
PERANGKAT ORGANISASI
Bagian Pertama
Umum
Pasal 21
Perangkat organisasi Koperasi terdiri dari :
a. Rapat Aggota;
b. Pengurus;
c. Pengawas.
Bagian Kedua
Rapat Anggota
Pasal 22
(1) Rapat Anggota merupakan Pemegang kekuasaan tertinggi dalam Koperasi.
(2) Rapat Anggota dihadiri oleh aggota yang pelaksanaanya diatur dalam
Anggaran Dasar.
Pasal 23
Rapat Anggota menetapkan :
a. Anggaran Dasar ;
b. Kebijakan umum dibidang organisasi ,manajemen ,dan usaha Koperasi;
c. pemilihan ,pengangkatan ,pemberhentian pengurus dan pengawas ;
d. rencana kerja ,rencana anggaran pendapatan dan belanja Koperasi ,serta pengesahan laporan
keuangan ;
e. pengesahan pertanggungjawaban pengurus dalam pelaksanaan tugasnya ;
f. pembagian sisa hasil usaha ;
g. penggabungan ,peleburan ,pembagian ,dan pembubaran Koperasi .
Pasal 24
(1) Keputusan Rapat Anggota diambil berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufa Kat.
(2) Apabila tidak diperoleh keputusan dengan cara musyawarah ,maka pengambilan keputusan
dilakukan berdasarkan suara terbanyak .
(3) Dalam dilakukan pemungutan suara ,setip anggota mempunyai hak satu suara .
(4) Hak suara dalam Koperasi Sekunder dapat diatur dalam Anggaran Dasar dengan
mempertimbagkan jumlah anggota dan jasa usaha Koperasi anggota secara berimbang.
Pasal 25
Rapat Anggota berhak meminta keterangan dan pertanggungjawaban Pengurus dan Pengawas
mengenai pengelolaan Koperasi.
Pasal 26
(1) Rapat anggota dilakukan paling sedikit dalam 12 (satu) tahun .
(2) Rapat anggota untuk mengesahkan pertanggungjawaban Pengurus diselenggarakan paling
lambat 6(enam) bulan setelah tahun buku lampau.
Pasal 27
(1) Selain Rapat Anggota sebagaimana dimaksud dalam pasal 26, Koperasi dapat melakukan
Rapat Anggota Luar Biasa apabila keadaan mengharuskan adanya keputusan segera yang
wewenangnya ada pada Rapat Anggota .
(2) Rapat Anggota Luar Biasa dapat diadakan atas permintaan sejumlah anggota Koperasi atau
atas keputusan Pengurus yang pelaksanaanya ditur dalam Anggaran Dasar.
(3) Rapat Anggota Luar Biasa Mempunyai wewenang yang dengan wewenang Rapat Anggota
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 23.
Pasal 28
Persyaratan, tata cara, dan tempat penyelenggaraan Rapat Anggota dan Rapat Anggota Luar
Biasa diatur dalam Anggaran Dasar.
Bagian Ketiga
Pengurus
Pasal 29
(1) Pengurus dipilih dari dan oleh anggota Koperasi dalam Rapat Anggota.
(2) Pengurus merupakan pemegang kuasa Rapat Anggota.
(3) Untuk pertama kali,susunan dan nama anggota pengurus dicantumkan dalam akta pendirian.
(4) Masa jabatan Pengurus paling lama 5 (lima) tahun.
(5) Persyaratan untuk dapat dipilh dan diangkat menjadi Anggota.
Pasal 30
(1) Pengurus bertugas :
a. mengelola Koperasi dan usahanya;
b. mengajukan rancangan rencana kerjaserta rancangan rencanaanggaran pendapatan dan
belanja Koperasi ;
c. menyelenggarakan Rapat Anggota;
d. mengajukan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas;
e. menyelenggarakan pembukuan keuangan dan inventaris secara tertib;
f. memelihara daftar buku anggota dan pengurus .
(2) Pengurus berwenang ;
a. mewakili Koperasi di dalam dan diluar pengadilan ;
b. memutuskan penerimaan dan dan penolakan anggota baru serta pemberhentian anggota
sesuai dengan ketentuan dalam Anggaran Dasar ;
c. melakukan tindakan dan upaya bagi kepentingan dan kemanfaatan Koperasi sesuai
dengan tanggunajawabnya dan keputusan Rappat Anggota.
Pasal 31
Pengurus bertanggungjawab mengenai segala kegiatan pengelolaan Koperasi dan usahanya
kepada Rapat Anggota atau Rapat Anggota Luar Biasa .
Pasal 32
(1) Pengurus Koperasi dapat mengangkat pengelola yang diberi wewenang dan kuasa untuk
mengelola usaha.
(2) Dalam Pengurus Koperasi bermaksud untuk mengangkat pengelola,maka rencana
pengangkatan tersebut diajukan kepada Rapat Anggota untuk mendapat persetujuan .
(3) Pengelola bertanggungjawab kepada Pengurus .
(4) Pengelolaan usaha oleh Pengelola tidak mengurangi tanggung jawab pengurus sebagaimana
dmaksud dalam pasal 31.
Pasal 33
Hubungan antara Pengelola usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 dengan Pengurus
Koperasi merupakan hubungan kerja atas dasar perikatan.
Pasal 34
(1) Pengurus,baik bersama-sama,maupun sendiri-sendiri,menanggung kerugian yang di derita
Koperasi ,karena tindakan yang dilakukan dengan kesengajaan atau kelalaiannya .
(2) Di samping penggantian kerugian tersebut,apabila tindakan itu dilakukan dengan
kesengajaan ,tidak menutup kemungkinan bagi penuntut umum untuk melakukan penuntutan.
Pasal 35
Setelah tahun buku Koperasi di tutup, paling lambat 1 (satu) bulan sebelum diselenggarakan
rapat anggota tahunan ,Pengurus menyusun laporan tahunan yang memuat sekurang-kurangnya:
a. pernitungan tahunan yang terdiri dari neraca akhir tahun buku yang baru lampau dan
perhitungan hasil usaha dari tahun yang bersangkutan serta penjelasan atas dokumen tersebut
;
b. keadaan dan Koperasim serta hasil usaha yang dapat dicapai.
Pasal 36
(1) Laporan tahunan sebagaimana yang dimaksud pasal 35 ditandatangani oleh semua Rapat
Pengurus.
(2) Apabila salah seorang Anggota Pengurus tidak menandatangani laporan tahunan tersebut ,
anggota yang bersangkutan menjelaskan alasannya secara tertulis.
Pasal 37
Persetujuan terhadap laporan tahunan, termasuk pengesahan perhitungan tahunan, merupakan
penerimaan pertanggungjawaban Pengurus oleh Rapat Anggota.
Bagian Keempat
Pengawas
Pasal 38
(1) Pengawas dipilih dari dan oleh anggota Koperasi dan Rapat Anggota.
(2) Pengawas bertanggungjawab kepada Rapat Anggota.
(3) Persyaratan untuk dapat dipilih dan diangkat sebagai Anggota Pengawas ditetapkan dalam
Anggaran Dasar.
Pasal 39
(1) Pengawas bertugas :
a. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijaksanaan dan pengelola Koperasi;
b. membuat laporan tertulis tentang hasil pengawasannya;
(2) Pengawas berwenang :
a. meneliti catatan yang ada pada Koperasi ;
b. mendapatkan segala keterangan yang diperlukan;
(3) Pengawas harus merahasiakan hasil pengawasannya terhadap pihak ketiga.
Pasal 40
Koperasi dapat meminta jasa audit kepada akuntan public.
BAB VII
MODAL
Pasal 41
(1) Modal Koperasi terdiri dari modal sendiri dan modal pinjaman.
(2) Modal sendri dapat berasal dari :
a. Simpanan Pokok;
b. Simpanan Wajib ;
c. Dana Cadangan ;
d. Hibah.
(3) Modal Pinjaman dapat berasal dari :
a. Anggota;
b. Koperasi lainnya dan/atau anggotanya;
c. Bank dan lembaga keuangan lainnya ;
d. Penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya;
e. Sumber lain yang sah.
Pasal 42
(1) Selain modal sebagai dimaksud dalam pasal 41,Koperasi dapat pula melakukan pemupukan
Modal yang juga berasal dari Modal penyertaan .
(2) Ketentuan mengenai pemupukan modal yang berasal dari modal penyertaan diatur Lebih
lanjut dengan peraturan pemerintah .
BAB VIII
LAPANGAN USAHA
Pasal 43
(1) Usaha Koperasi adalah usaha yang berkaitan langsung dengan kepentingan anggota untuk
meningkatkan usaha dan kesejahteraan anggota ;
(2) Kelebihan kemampuan pelayanan Koperasi dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat yang bukan anggota Koperasi.
(3) Koperasi menjalankan kegiatan usaha dan berperan utama di segala bidang kehidupan
ekonomi rakyat.
Pasal 44
(1) Koperasi dapat menghimpun dana dan menyalurkan melalui kegiatan usaha simpan pinjam
dari dan untuk ;
a. anggota Koperasi yang bersngkutan ;
b. Koperasi lain dan/atau anggotanya.
(2) Kegitan usaha simpan pinjam dapat dilaksanakan sebagai salah satu atau satu-satunya
kegiatan usaha Koperasi.
(3) Pelaksanaan kegiatan usaha simpan pinjam oleh Koperasi diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.
BAB IX
SISA HASIL USAHA
Pasal 45
(1) Sisa hasil usaha Koperasi merupakan pendapatan Koperasi yang diperoleh dalam satu tahun
buku dikurangi dengan biaya,penyusutan ,dan kewajiban lainnya termasuk pajak dalam tahun
buku yang bersangkutan.
(2) Sisa hasil usaha setelah dikurangi dana cadangan ,dibagikan kepada anggota sebanding
dengan jasa usaha yang dilakukan oleh masing-masing anggota dengan Koperasi, serta
digunakan untuk pendidikan Perkoperesian dan keperluan lain dari Koperasi, sesuai dengan
keputusan Rapat Anggota.
(3) Besarnya Pemupukan dana cadangan ditetapkan dalam Rapat Anggota,
BAB X
PEMBUBARAN KOPERASI
Bagian Pertama
Cara Pembubaran Koperasi
Pasal 46
Pembubaran Koperasi dapat dilakukan berdasarkan :
a. Keputusan Rapat Anggota,atau
b. Keputusan Pemerintah.
Pasal 47
(1) Keputusan pembubaran oleh pemeritah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf b
dilakukan apabila :
a. terdapat bukti bahwa Koperasi yang bersangkutan tidak memenuhi ketentuan Undangundang
ini;
b. kegiatan bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan ;
c. kelangsungan hidupnya tidak dapat lagi diharapkan .
(2) Keputusan pembubaran Koperasi oleh pemerintah dikeluarkan dalam waktu paling lambat 4
(empat) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya surat pemberitahuan rencana
pembubaran tersebut oleh Koperasi yang bersangkutan.
(3) Dalam jangka waktu 2 (dua) bulan sejak tanggal penerimaan pemberitahuan, Koperasi yang
bersangkutan berhak mengajukan keberatan.
(4) Keputusan Pemerintah mengenai diterima atau ditolaknya keberatan atas rencana
pembubaran diberikan paling lambat 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya pernyataan
keberatan tersebut.
Pasal 48
Ketentuan mengenai pembubaran Koperasi oleh pemerintah dan tata cara pengajuan keberatan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 49
(1) Keputusan pembubaran Koperasi oleh Rapat Anggota diberitahukan secara tertulis oleh
Kuasa Rapat Anggota kepada :
a. semua kreditor;
b. pemeritah .
(2) Pemberitahuan kepada semua Kreditor dilakukan oleh pemerintah dalam hal pembubaran
tersebut
(3) Selama pemberitahuan pembubaran Koperasi belum diterima oleh kreditor maka
pembubaran Koperasi belum berlaku baginya.
Pasal 50
Dalam pemberitahuan sebagamana dimaksud dalam pasal 49 disebutkan :
a. nama dan alamat penyelesaian, dan
b. ketentuan bahwa semua kreditor dapat mengajukan tagihan dalam jangka waktu 3(tiga) bulan
sesudah tanggal diterimanya surat pemberitahuan pembubaran.
Bagian Kedua
Penyelesaian
Pasal 51
Untuk kepentingan kredtor dan para anggota Koperasi terhadap pembubaran Koperasi dilakukan
penyelesaian pembubaran yang selanjutnya disebut penyelesaian.
Pasal 52
(1) Penyelesaian dilakukan oleh penyelesaian pembubaran yang selanjutnya disebut Penyelesai.
(2) Untuk penyelesaian berdasarkan keputusan Rapat Anggota, penyelesai ditunjuk oleh Rapat
Anggota.
(3) Untuk penyelesaian berdasarkan keputusan pemerintah , penyelesai dtunjuk oleh
Pemerintah.
(4) Selama dalam proses penyelesaian,Koperasi tersebut tetap ada dengan sebutan ”Koperasi
dalam penyelesaian”.
Pasal 53
(1) Penyelesaian segera dilaksanakan setelah dikeluarkan keputusan pembubaran Koperasi.
(2) Penyelesai bertanggungjawab kepada kuasa Rapat Anggota dalam hal penyelesaiditunjuk
oleh Rapat Anggota dan kepada pemerintah dalam hal penyelesai ditunjuk oleh pemerintah.
Pasal 54
Penyelesai mempunyai hak,wewenang, dan kewajiban sebagai berikut :
a. melakukan segala perbuatan hukum untuk dan atas nama “Koperasi dalam penyelesaian “.
b. mengumpulkan segala keterangan yang diperlukan ;
c. memangil pengurus, anggota dan bekas anggota tertentu yang diperlukan,baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama;
d. memperoleh ,memeriksa ,dan mengunakan segala catatan yang dan arsip Koperasi ;
e. menetapkan dan melaksanakan segal kewajiban pembayaran yang didahulukan dari
pembayaran hutang lainnya ;
f. menggunakan sisa kekayaan Koperasi untuk menyelesaikan sisa kewajiban Koperasi;
g. membagikan sisa hasil penyelesaian kepada anggota ;
h. membuat berita acara penyelesaian.
Pasal 55
Dalam hal terjadi pembubaran Koperasi ,anggota hanya menanggung kerugian sebatas simpanan
pokok, simpanan wajib dam modal penyertaan yang dimilikinya.
Bagian Ketiga
Hapusnya Status Badan Hukum
Pasal 56
(1) Pemerintah mengumumkan pembubaran Koperasi dalam berita Negara Republik Indonesia.
(2) Status Badan Hukum Koperasi hapus sejak tanggal pengumuman pembubaran Koperasi
tersebut dalam berita Negara Republik Indonesia.
BAB XI
LEMBAGA GERAKAN KOPERASI
Pasal 57
(1) Koperasi secara bersama-sama mendirikan satu organisasi tunggal yang berfungsi sebagai
wadah untuk memperjuangkan kepentingan dan bertindak sebagai pembawa aspirasi
Koperasi.
(2) Organisasi ini berazaskan Pancasila.
(3) Nama,tujuan,susunan, dan tata kerja organisasi diatur dalam Anggaran Dasar organisasi yang
bersangkutan.
Pasal 58
(1) Organisasi tersebut melakukan kegiatan :
a. memeperjuangkan dan menyalurkan aspirasi Koperasi;
b. meningkatkan kesadaran berkoperasi di kalangan masyarakat.
c. melakukan pendidikan perkoperasian bagi anggota dan masyarakat;
d. mengembangkan kerja sama antar Koperasi dan anggota Koperasi dengan Badan usaha
lain, baik pada tingkat nasional maupun internasional.
(2) Untuk melaksanakan kegiatan tersebut,Koperasi secara bersama-sama menghimpun dan
Koperasi.
Pasal 59
Organisasi yang dibentuk sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) disahkan oleh
pemerintah.
BAB XII
PEMBINAAN
Pasal 60
(1) Pemerintah menciptakan dan mengembangkan iklim dan kondisi yang mendorong
pertumbuhan serta pemasyarakatan Koperasi.
(2) Pemerintah memberikan bimbingan,kemudahan dan perlindungan kepada Koperasi.
Pasal 61
Dalam upaya menciptakan dan mengembangkan iklim yang kondisi yang mendorong
pertumbuhan dan pemasyarakatan Koperasi,pemerintah ;
a. memberikan kesempatan usaha yang seluas-luasnya kepada Koperasi;
b. meningkatkan dan memantapkan kemampuan Koperasi agar menjadi Koperasi yang
sehat,tangguh,dan mandiri;
c. mengupayakan tata hubungan usaha yang saling menguntungkan antara Koperasi dengan
Badan usaha lainnya;
d. membudayakan Koperasi dalam masyarakat.
Pasal 62
Dalam rangka memberikan bimbingan dan kemudahan kepada Koperasi ,pemerintah:
a. membimbing usaha Koperasi yang sesuai dengan kepentingan ekonomi anggotanya;
b. mendorong, mengembangkan, dan membantu pelaksanaan pendidikan, pelatihan,
penyuluhan, dan penelitian perkoperasian;
c. memberikan kemudahan untuk memperkokoh pemodalan Koperasi serta mengembangkan
lembaga keuangan Koperasi;
d. membantu pengembangan jaringan usaha Koperasi dan kerja sama yang saling
menguntungkan antar Koperasi;
e. memberikan bantuan konsultasi guna menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh
Koperasi dengan tetap memperhatikan Anggaran Dasar dan prinsip Koperasi.
Pasal 63
(1) Dalam rangka pemberian perlindungan kepada Koperasi,pemerintah dapat :
a. menetapkan bidang kegiatan ekonomi yang hanya boleh diusahakan oleh Koperasi ;
b. menetapkan bidang kegiatan ekonomi di suatu wilayah yang telah berhasil diusahakan
oleh Koperasi untuk tidak diusahakan oleh badan usaha lainnya.
(2) Persyaratan dan tata cara pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 64
Pembahasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, dan Pasal 63
dilakukan dengan memperhatikan keadaan dan kepentingan ekonomi nasional,serta pemerataan
kesepakatan berusaha dan kesempatan kerja.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 65
Koperasi yang telah memiliki status badan hukum pada saat Undang-undang ini
berlaku,dinyatakan telah diperoleh status badan hukum berdasarkan Undang-undang ini.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 66
(1) Dengan berlakunya Undang-undang ini,maka Undang-undang Nomor 12 tahun 1967 tentang
pokok-pokok perkoperasian (lembaran Negara tahun 1967 Nomor 23, Tambahan Lembaran
Negara Tahun 1967 Nomor 2832) dinyatakan tidak berlaku lagi;
(2) Peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang pokok- pokok
perkoperasian (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 23,Tambahan Lembaran Negara Tahun
1967 Nomor 2832 ) dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan atau
belum diganti berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal 67
Undang-undang ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Oktober 1992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Oktober 1992
MENTRI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TUHUN 1992 NOMOR 116









Copyright © 2011 mediakriminalitas · All Rights Reserved



Powered by sitekno